Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Ametis Kalimantan Obral Harga, Akik Nian Kalah Pasaran

Jumat, 08 Januari 2016 – 12:34 WIB
Ametis Kalimantan Obral Harga, Akik Nian Kalah Pasaran - JPNN.COM
Batu mulia atau batu akik Nian asal Desa Nian, Kecamatan Miomaffo Tengah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). FOTO: Timor Express/JPNN.com

Karena keistimewaan batu akik Nian, jelas Mas Kukuh, dia berani mencari chanel di Surabaya. Tujuannya agar para pengrajin lokal di Nian bisa terus diberdayakan dan hasil produksinya bisa dijual secara meluas, tak hanya di Kota Kefamenanu atau di NTT. Alhasil, batu Nian go nasional. Di beberapa pusat perbelanjaan yang ada di Kota Surabaya, batu Nian dipajang. Mulai dari yang masih berbentuk bongkahan sampai yang sudah dipoles menjadi mata cincin dan perhiasan lainnya.

“Awal bulan Agustus 2015, batu Nian bisa berbicara banyak ketika ada ada expo besar-besar di beberapa pusat perbelanjaan di Surabaya. Batuan kita laris manis. Hasil produksi para pengrajin lokal Nian bisa lima kali saya kirim,” ujarnya sembari memamerkan aneka mata cincin yang diproduksi para pengrajin binaannya.

Tanggal 12 Oktober 2015, sebut Mas Kukuh, menjadi hari kejatuhan batu akik Nian. Pemicunya adalah masuknya batu jenis ametis dari Kalimantan ke pusat-pusat perbelanjaan di Kota Surabaya. Bukan soal batu akik Nian kalah dalam hal kualitas. Tetapi pernak-pernik yang terbuat dari batu ametis dijual dengan harga murah meriah. Untuk mata cincin saja, harganya cuma enam ribu rupiah.

“Batu ametis dari Kalimantan masuk, pasaran batu Nian langsung kalah. Satu mata cincin mereka jual dengan enam ribu rupiah. Harganya murah meriah pasti diserbu orang. Batuan kita yang masih sempat bertahan hanya jenis rodorosit bergaris dan dendrit (fosil terperangkap dalam batu),” sebut pria asal Tulung Agung, Jawa Timur itu.

Menurut Mas Kukuh, penjualan aneka perhiasan dari batuan ametis Kalimantan dengan harga murah meriah, sangatlah tidak masuk akal dalam pola pengrajin batu mulia. Namun itulah faktanya.

“Mereka pasti gunakan mesin masal. Bongkahan dimasukan ke mesin dalam jumlah besar dan langsung menghasilkan banyak mata cincin atau pernak-pernik lainnya. Ini yang buat kita nyonyor karena kita masih pakai tenaga manusia untuk memoles batu menjadi perhiasan. Tidak masuk akal memang dalam pola pengrajin, tetapi kita mau bilang apa,"ungkap alumnus IKIP Malang itu.(boi/fri/jpnn)

Awal tahun 2015, Desa Nian di Kecamatan Miomaffo Tengah Kabupaten TTU ramai diperbincangkan. Semua orang ingin kesana setelah mendengar ceritera

Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close