Andalkan Kode Alam Gunung Agung, Warga Kabur saat Mendung
Meski pernah mengalami pengalaman pahit sapinya jadi korban, namun Wayan Kantor tak kapok memelihara ternak saat erupsi. Dia enggan menjual sapi-sapinya lantaran harganya terlalu murah. Wayan Kantor mengaku pasrah dan tak akan membawa sapi-sapinya ke pengungsian.
“Koh tiang ngabe. Repot. Baang be dini. Saget mati kene lahar, kudiang men. Pasrah manten. (Malas saya bawa ke pengungsian. Biarkan di sini. Kalaupun mati terkena lahar, mau gimana lagi. Pasrah saja),” imbuhnya.
Dia juga tak menampik sering dibuat cemas dengan aktivitas Gunung Agung yang sangat misterius. Wayan Kantor hanya mengandalkan kode alam. Menurutnya, jika langit mendung, itu sebagai pertanda bahwa dia harus segera meninggalkan rumahnya menuju tempat aman.
“Asal gulem, tiang jeg melaib ke pengungsian, ajak kurenan tiange. Pidan dugas tahun 1963 masi keto. Gumine peteng lakar gununge meletus. To mekada tiang waswas. Enggalan mengungsi tiang ajaka jak bapane ke Tajun (Setiap mendung, saya pasti lari ke pengungsian sama istri. Dulu tahun 1963 juga begitu. Suasana gelap gulita saat gunung akan meletus. Keburu diajak ke Tajun mengungsi sama orang tua),” tuturnya.
Hal serupa juga diuraikan Komang Lara (58), yang bertetangga dengan Wayan Kantor. Dia mengaku tetap beraktivitas normal saat siang hari. sedangkan malam harinya dirinya bersama istri dan anak menghabiskan malam di tenda pengungsian, di wilayah Kubu.
“Kami tetap beraktivitas di siang hari. Kadang memberi makan babi. Biar tidak mati babinya. Kalau sapi tidak punya. Kalau sudah kabut saya mengungsi. Biar cari aman,” singkatnya. (bx/dik/yes/jpr)