Antara Soekarno, Nasionalisme, dan Asian Games 2018
Asian Games pertama digelar di New Delhi (India) pada 4-11 Maret 1951. Kejuaraan AGF pertama ini diikuti oleh 600 atlet dan ofisial dari sebelas negara Asia dan memperebutkan medali 14 cabang.
Yakni, atletik, basket, tinju, lomba sepeda, loncat indah, sepak bola, hoki, menembak, renang, tenis, tenis meja, voli, angkat berat, dan gulat (Wienakto dan Soetopo, 1958:9-10).
Pada pertemuan wakil AGF di Wasankei, Tokyo, Jepang, tahun 1958, tiga negara mengajukan proposal tuan rumah AGF keempat, yaitu Indonesia, Taiwan, dan Pakistan.
Wakil RI pada AGF itu ialah Sri Paku Alam, Halim dan H.E. Maladi, Menteri olahraga. Usai perdebatan panjang, akhirnya proposal Indonesia diterima oleh wakil AGF.
Indonesia akhirnya menjadi tuan-rumah Asian Games keempat di Jakarta.
Semula wakil-wakil negara anggota AGF kurang mendukung pelaksanaan AGF keempat di Indonesia karena keterbatasan fasilitas olahraga, akomodasi, infrastruktur transportasi dan rendahnya kinerja standar olahraga kompetisi serta keterbatasan sumber daya (Harsuki et al, 1991).
Indonesia menghadapi kondisi darurat ekonomi. Awal 1960-an, inflasi mencapai 600 persen per tahun (Robison, 1986). Utang pemerintah mencapai 1.113.000.000 USD (George McTurnan Kahin, 1997:30).
Soekarno lantas mengajukan proposal pinjaman sebesar 12,5 juta USD ke Uni Soviet untuk membangun infrastruktur olahraga, seperti Stadion GBK sports hall, penginapan atlet dan bangunan-bangunan lainnya (Harsuki et al, 1991).