Antikempes Antipaku
jpnn.com - JEDA rapat redaksi INDOPOS di Graha Pena Jakarta, kemarin, mirip diskusi di toko material saja. Harga paku besi biasa Rp 18.000,- per kilogram. Paku beton lebih mahal, di atas Rp 20.000,-. Harga paku rongsokan, paku bekas yang sudah karatan, dan bentuknya sudah tidak lurus itu, per kilo, Rp 9.000,-. Lebih murah, separohnya.
Mengapa tiba-tiba paku menjadi bahasan khusus? Ini berangkat dari peristiwa unik yang oleh kawan-kawan redaktur sudah dianggap sebagai hal biasa, kasus usang, yang istilahnya “gitu-gitu aja” dari zaman Kompeni.Saking lazimnya, sampai-sampai abai bahwa “ranjau paku” ini sebenarnya menyimpan persoalan laten yang amat meresahkan publik, menyita energi, mengganggu kenyamanan, dan membuat gondok.
Bayangkan, saat berkendara, tiba-tiba ban kempes, di jalur padat! Harus ganti karena robek dalam, tambal ban tubles, atau sekadar membongkar-pasang ban cadangan. Berapa waktu yang hilang? Berapa banyak peluang hilang? Berapa panjang dampak kemacetan? Repot bin panas? Masih harus merogoh kocek buat jasa tukang ban? Mood yang sudah dipersiapkan bisa langsung lunglai, kehilangan gairah dan sesak dada.
Bagi yang bertekanan darah tinggi, bisa naik tensi dan mudah emosi. Memang belum ada yang menghitung kerugian total (material plus imaterial) dari kasus ban gembos itu. Saya kalkulasi, kerugian imaterialnya, bisa 1.000 kali lebih mahal dari ongkos material jasa tambal ban itu sendiri. Jadi tambal ban motor Rp 10.000, atau mobil Rp 30.000,- --tarif tergantung siang, sore, malam, atau tengah malam--- maka tinggal dikalikan 10.000 saja! Angkanya menjadi sangat fantastis, mahal, bahkan lebih mirip perampokan bank atau toko emas saja.
Sementara, jika mereka-reka logika pelaku kejahatan ringan yang diduga bermodus “tebar ranjau” itu, untungnya sangat kecil. Satu bulan sekitar 100 kilogram paku yang disebar, modalnya Rp 1.800.000,-. Belum termasuk ongkos menyebar, yang disamarkan dengan memasukkan ke bungkus korek api, bungkus rokok, atau di aspal berlubang.
Mereka itu harus mendapatkan “pasien” ban kempes akibat ranjau jalanan itu minimal 180 korban per bulan, dengan asumsi ongkos tambal itu Rp 10.000,-. Angka itu, baru memperoleh nilai break event point (BEP) saja. Mereka perlu margin, jadi jumlah pasien harus lebih banyak, atau harga jasa tambal ban-nya dinaikkan. Boleh jadi, targetnya untung 100 persen, agar bisa sedikit lebih besar dari Upah Minimal Provinsi DKI, jadi harus mendapatkan korban 360 korban sebulan? Atau per hari harus menangani minimal 12 kasus ban bocor.
Coba, bandingkan dengan nilai total kerugian (material dan imaterial) yang diderita korban? Terlalu kecil, tidak sepadan, dengan peluang benefit korban jika tidak diteror ban bocor? Hilang potensinya Rp 100-Rp 300 juta, untuk mendapatkan Rp 1,8 juta? Belum lagi potensi kejahatan yang terbuka lebih lebar? Saat tengah malam, sepi lalu lintas, ban bocor, mobil-motor harus berhenti, lalu didatangi orang yang menyamar sebagai tukang tambal ban, lalu meminta bayaran dengan harga ’’maksa’’? Saya duga, modus seperti ini sudah pernah terjadi, dan lagi-lagi dianggap sepele.
Bagaimana kalau itu terjadi pada perempuan? Atau orang asing? Atau orang yang sedang dalam posisi emergency? Sedang sakit, sedang menuju atau dari rumah sakit? Sedang menuju RS Bersalin? Orang lanjut usia? Menimpa mobil ambulance yang sedang menjemput orang kritis? Suasana hujan, angin dan banyak pohon tumbang? Situasi macet dan memperparah kemacetan? Wow, nilai imaterialnya melonjak jauh lebih dahsyat? Inilah alasan, mengapa urusan “tebar ranjau paku” ini harus ditempatkan sebagai persoalan super serius, perlu ditangani secara tuntas.