APNIPER For Sustainability Usulkan 3 Hal untuk Hilirisasi Nikel yang Berkelanjutan
“Hal ini memerlukan langkah-langkah terobosan yang dilakukan untuk menjaga keberlanjutan saat ini, karena pengurangan penyerapan ore nikel oleh smelter nikel menyebabkan para pelaku usaha tambang juga mengalami penurunan dan kesulitan produksi," ungkap Achyar dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Kamis (11/5).
Menurutnya, perlu langjah untuk menurunkan ongkos produksi dari smelter nikel. Adapun cost produksi smelter nickel terbesar itu ada pada energi, yaitu batu bara. Harga pokok produksi Nickel Pig Iron (NPI) sebagai salah satu kandungan di dalam stainless steel. Batu bara digunakan untuk memanaskan tungku pembakaran ore nickel.
"Ketersediaan batu bara nasional dan harga yang kompetitif sangat krusial untuk menjaga sustainabilitas industri nickel tanah air,” ujar Achyar.
Pasca penetapan (domestic market obligation) DMO 25 persen, ditetapkan harga jual batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik demi Kepentingan Umum sebesar USD 70 (tujuh puluh dollar Amerika Serikat) per metrik ton Free On Board (FOB) Vessel, sementara untuk harga industri lainnya tidak mengalami “spesialisasi”.
Hal ini yang memengaruhi harga pokok produksi Nickel Pig Iron (NPI) meningkat. Namun, apabila terdapat penyetaraan harga antara untuk tenaga listrik dan industri pemurnian nikel (smelter), merupakan solusi untuk menekan harga pokok produksi.
Oleh karena itu, Achyar mengusulkan empat solusi untuk keberlanjutan industri nikel.
Pertama adalah, pemerintah perlu memberlakukan harga jual batu bara untuk smelter nikel dalam negeri dengan harga yang sama untuk penyediaan tenaga listrik, yaitu sebesar 70 USD per metrik ton FOB Vessel.
Kedua, APNIPER For Sustainability berpandangan bahwa Surat Edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor : 2.E/MB.04/MEM.B/2023 Tentang Kewajiban Pelaksanaan Transaksi Penjualan dan Pembelian Bijih Nikel Dalam Basis Free On Board (FOB) perlu dijalankan secara konsisten.