Arief Yahya Gulirkan Ide ASEAN sebagai Destinasi Tunggal Pariwisata
Arief Yahya sependapat dengan Menpar dan Olahraga Thailand Kopkarn Wattanavrangkul, bahwa pariwisata itu borderless, tidak mengenal batas-batas teritorial. Pariwisata itu hubungan antarmanusia. People to people relationship. "Karena itu Indonesia membebaskan visa 169 negara selama setahun ini," kata Menteri Arief.
Hasil studi UNWTO menjelaskan, bebas visa kunjungan (BVK) itu menaikkan 20-25 persen kedatangan wisatawan. Angka di Indonesia juga 19 persen lebih, kalau dibulatkan 20 persen di tahun 2016. "Tahun ini, ada 49 negara yang akan diturunkan dari bebas visa ke visa on arrival, sesuai janji kami ke parlemen," ungkap Arief Yahya.
Pembicara lain dalam diskusi yang dipandu Linda Yueh itu adalah Menteri Pariwisata Filipina Wanda Teo dan Regional Director ICAO Asia & Pacific Office Arun Misha. Sedangkan tampil sebagai pembicara kunci adalah Menteri Pariwisata dan Olahraga Thailand Kopkarn Wattanavrangkul.
Dalam diskusi itu Arief juga menyatakan optimismenya bahwa pengembangan ASEAN sebagai destinasi wisata tunggal bukan hal mustahil. “Jika negara-negara ASEAN bisa bersama-sama, maka kami akan memiliki ASEAN sebagai single destination,” tegasnya.
Lantas, bagaimana caranya? Arief menuturkan, upaya pertama yang bisa ditempuh adalah melalui harmonisasi sesama negara ASEAN. “Dimulai dari sumber daya manusianya,” sebutnya.
Selain itu, upaya menjadikan ASEAN sebagai destinasi tunggal juga sangat memungkinkan karena komitmen di antara negara-negara anggotanya. “Kami memiliki mutual recognition arrangement atau MRA di antara negara-negara ASEAN,” katanya.
Mantan direktur PT Telkom Indonesia itu menambahkan, ketika sesama negara ASEAN sudah satu visi maka upaya maju bersama di sektor pariwisata bisa lebih mudah. “Dalam pengembangan pariwisata akan lebih mudah menjadikan ASEAN sebagai single destination dalam satu wilayah sebagaimana Eropa,” tuturnya.
Meski demikian Arief juga tak menampik kendala di negara-negara berkembang, terutama masalah infrastruktur dan kemudahan berbisnis. Peraih gelar master dari Surrey University di Inggris itu lantas mencontohkan Indonesia yang getol membangun infrastruktur, tetapi terkendala pendanaan. “Kemampuan pemerintah membiayai infrastruktur hanya 30 persen,” tuturnya.