AS Bisa Cetak Uang tanpa Takut Inflasi
Obama Siap Gelontor Dana Krisis ala RRTRabu, 19 November 2008 – 03:32 WIB
Masih ada beberapa hambatan. Secara teknis, penyertifikatan aset-aset negara memerlukan biaya besar–meski sebenarnya bisa diselesaikan dengan gampang. Bukankah Badan Pertanahan Negara juga milik negara? Lalu, kalau aset itu harus diapraisal untuk mendapatkan nilai pasar yang sebenarnya, juga harus membayar pajak yang besar. Ini pun sama: negara membayar pajak kepada negara. Kenapa tidak tukar-menukar angka saja.
Namun, secara mendasar juga masih ada hambatan. Misalnya, pasal 33 UUD yang berlaku sampai sekarang masih membuat keraguan. Harus ada tafsir resmi mengenai sumber daya alam yang di pasal itu disebut ”dikuasai” oleh ”negara”. Harus jelas apa yang dimaksud ”dikuasai” dan siapa yang disebut ”negara”. Harus dijelaskan secara hukum bahwa yang dimaksud ”dikuasai” adalah ”dimiliki”. Sedang yang dimaksud ”negara” adalah siapa: perusahaan negara? Instansi? Dan seterusnya.
Politisi di parlemen tentu tidak memahami mengapa harus dijelaskan seperti itu. Tapi, bagi orang akuntansi, itu sangatlah penting. Untuk bisa membukukan kekayaan itu dalam neraca negara, harus ada landasan hukumnya. Kalau, sudah jelas bahwa seluruh batu bara, emas, minyak, nikel, dan seterusnya itu milik negara, tinggal diapraisal berapa harga semua itu. Lalu, akuntan punya dasar untuk membukukan angka tersebut ke dalam neraca. Kalau tidak, tidak akan bisa kekayaan itu secara resmi diakui sebagai kekayaan negara.