Asyiknya Lihat Sekolah Meliarkan Orang Utan
Monterado yang akrab dipanggil Agung juga mengajak saya mengunjungi sekolah hutan. Yaitu, salah satu program BOSF untuk mengajarkan insting liar kepada orang utan. Insting liar perlu diajarkan karena mayoritas orang utan yang dirawat BOSF hasil sitaan dari warga.
’’Kebanyakan orang utan yang ada di sini sebelumnya dipelihara penduduk sehingga insting liarnya sudah hilang. Yang lain datang sejak bayi sehingga perlu diasah insting liarnya,’’ jelas Agung.
Sekolah hutan di BOSF dibagi dalam kelas-kelas seperti halnya sekolah umum. Ada TK, SD, SMP, dan SMA. Di sekolah itu diajarkan banyak hal tentang alam liar, mulai memanjat, mencari makanan, mengenali racun dan lawan, hingga membuat sarang.
Ruang kelasnya di hutan sekitar kantor BOSF. Untuk bisa melihat aktivitas orang utan bersekolah, pengunjung harus berjalan cukup jauh masuk ke dalam hutan. Tak ada alat transportasi yang bisa menjangkau lokasi itu.
Tapi, jangan dibayangkan sekolah di BOSF seperti halnya sekolah yang dijalani manusia. Sekolah bagi para orang utan sejatinya adalah mengembalikan mereka ke habitat aslinya, yakni hutan belantara. Jadi, jangan kaget bila ada orang utan yang kabur dari ”ruang kelas”.
Misalnya, saat saya dan Agung menyeruput kopi di kantin BOSF, tiba-tiba datang seekor orang utan yang ingin ikut minum kopi. Kalau sudah begitu, babysitter dan petugas teknis harus bekerja keras menggiring orang utan kembali ke ’’kelas’’ atau memasukan ke kandang sebagai hukuman.
Agung juga mengajak saya ke sekolah untuk bayi orang utan yang usianya di bawah 1 tahun. Sekolah itu mirip playgroup. Di sekolah tersebut tidak ada pohon-pohon tinggi menjulang. Pohon-pohon yang ada setinggi tak lebih dari 2 meter. Itu digunakan bayi orang utan untuk berlatih memanjat pohon.
Letak sekolah terpisah dari kawasan utama reintroduksi BOSF. Hal tersebut dilakukan agar bayi orang utan tak terganggu kelompok orang utan yang dewasa. ’’Lahan ini sengaja kami buat seperti ini agar bayi orang utan bisa belajar tentang alam liar,’’ imbuh Paulina L. Ela, spesialis komunikasi BOSF.