Aturan Baru BPJS Kesehatan Menuai Kontroversi
jpnn.com, JAKARTA - BPJS Kesehatan mensosialisasikan peraturan baru terkait pelayanan katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Aturan mengundang kontroversi.
BPJS Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Rabu (25/7) melakukan pertemuan di kantor Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Ahmad Ansyori, Komisioner DJSN, mengatakan lembaganya meminta BPJS Kesehatan menunda dan memperbaiki peraturan terbaru. ”Regulasi BPJS Kesehatan overstaping,” katanya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Menurutnya, BPJS Kesehatan tidak berhak mengeluarkan aturan mengenai penggunaan manfaat anggaran. Harusnya aturan tersebut dibuat dalam Peraturan Presiden. Ansyori menilai jika BPJS Kesehatan telah sepihak mengeluarkan keputusan. ”Rekomendasinya adalah untuk meralat aturan itu,” ujarnya.
Dalam hal ini BPJS Kesehatan berpedoman pada UU no 40 tahun 2004 yang menyatakan BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan.
Ansyori mengatakan argumen BPJS Kesehatan dengan berpedoman pada undang-undang tersebut tidak tepat. ”Hanya, apa bermakna secara hukum bisa menetapkan sendiri? Saya rasa tidak begitu maksud undang-undang,” tutur Ansyori.
Apalagi keputusan yang digunakan BPJS adalah dari direktur teknis. ”Kalau DJSN kami mengenal tiga peraturan. Yakni dari dewan pengawas, peraturan badan, dan peraturan direksi yang mengikat ke dalam. Direksi diwakili oleh direktur utama tidak didistribusi oleh direktur teknis,” imbuhnya.
Akibat dari peraturan itu dapat menekan fasilitas kesehatan (klinik atau rumah sakit, Red). ”Faskes kesulitan memberikan layanan yang optimal karena ada batasan,”ungkapnya.
Dia mencontohkan jika ada pasien yang membutuhkan layanan fisioterapi lebih dari tiga kali dalam seminggu. Sedangkan dalam aturan itu, BPJS Kesehatan membatasi hanya dua kali seminggu atau maksimal delapan kali dalam satu bulan.