Awas, Usaha Penggilingan Padi Indonesia dalam Kondisi Rawan
jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Beras dan Padi (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, banyak perusahaan penggilingan padi pada semester akhir 2017 dan memasuki 2018 yang tidak berproduksi. Faktor penyebabnya adalah menurunnya stok padi dan harga gabah yang naik.
"Memang selama ini saat musim-musim paceklik yang masuk ke penggilingan padi mengalami penurunan. Tapi ini saya cross check dengan teman-teman penggilingan, ternyata tahun ini sebagian juga, bahkan sampai tidak bisa berproduksi," kata Sutarto saat dihubungi, Jumat (2/2).
Selain penurunan suplai gabah, pengusaha penggilingan kecil yang memproduksi beras medium melihat kecenderungan harga padi yang mahal. Sutarto menambahkan, hal itu juga menimpa perusahaan penggilingan padi yang besar.
"Saya cross check lagi dengan yang besar-besar, pemasok-pemasok di luar daerah maupun antarpulau. Mereka mengatakan, kami sebenarnya rugi pada bulan-bulan ini. Tapi karena dia menjaga langganan sehingga harus dipasok terus meskipun harga mahal," kata Sutarto.
Mantan direktur utama Perum Bulog itu menambahkan, menurunnya penyerapan gabah di penggilingan berdampak pada ketahanan pangan. Dia menilai stok Bulog yang saat ini di bawah 700 ribu ton membuktikan adanya kesalahan dalam penyerapan beras.
"Sebenarnya kalau berdasarkan diskusi-diskusi dan survei, negara sebesar Indonesia itu sebenarnya harus mempunyai cadangan beras. Dulu disepakati harus mempunyai 1,5 juta ton. Sekarang kenapa Bulog tidak bisa mencapai satu juta ton?" kata dia.
Mantan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian itu menegaskan, Bulog bisa saja melakukan penyerapan dengan cepat jika produksi padi nasional tercukupi. Sebab, tugas Bulog bukan untuk bersaing dengan pedagang.
“Produksi hari itu kan juga dipasarkan hari berikutnya untuk ngisi pasar dulu. Itu tidak benar jika Bulog kalah bersaing. Bulog bukan untuk bersaing, tapi untuk mengisi pasar," kata dia.