Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Bahasa Ibu Mulai Punah, Aksara Hangeul Jadi Pengganti

Rabu, 23 Oktober 2013 – 06:49 WIB
Bahasa Ibu Mulai Punah, Aksara Hangeul Jadi Pengganti - JPNN.COM
DITERIMA: Abidin di depan sekolahnya, SMAN 6 Bau-Bau. Papan sekolah itu sebagian menggunakan aksara Hangeul untuk menyebut nama sekolah. F-Sekaring Ratri/JAWA POS

jpnn.com - Suku Cia-Cia di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, menghadapi problem serius. Bahasa ibu mereka kini terancam punah karena jumlah penuturnya yang terus tergerus. Menariknya, untuk menyiasati problem itu, suku Cia-Cia menggunakan aksara bahasa Korea sebagai aksara bahasa mereka. Kok bisa? 

SEKARING RATRI A., Bau-Bau

Demam K-Pop ternyata tidak hanya menjangkiti anak-anak muda di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Budaya dari dataran Korea Selatan itu juga melanda kota kecil bernama Bau-Bau di Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra). Bedanya, bukan hanya K-Pop-nya yang digandrungi, tapi juga aksara Korea, Hangeul, yang diterapkan dalam bahasa asli suku Cia-Cia di Bau-Bau.

Mayoritas suku Cia-Cia yang berada di Kota Bau-Bau bermukim di Kecamatan Sorawalio. Kecamatan itu berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan darat dari pusat kota. Jalannya cukup menantang: naik turun gunung dan bergelombang. Kecamatan Sorawolio dikelilingi hutan dan lembah. Rumah-rumah penduduk berdampingan dengan lahan pertanian.

Meski belum banyak tersentuh modernisasi, nama-nama jalan, nama sekolah, atau instansi pemerintah lainnya ditulis dengan dua aksara. Yakni, latin dan Hangeul. Misalnya, Sekolah Dasar Negeri Karya Baru dan SMA Negeri 6 Bau-Bau. Bagaimana mungkin kota terpencil di Sulteng itu bisa welcome terhadap salah satu budaya dari Negeri Ginseng tersebut" Bahkan, aksara Korea sampai dimanfaatkan untuk menuliskan bahasa suku Cia-Cia di Bau-Bau.

Itu semua, rupanya, bermula dari hubungan kerja sama antara Pemerintah Kota Bau-Bau dan Kota Seoul, ibu kota Korsel. Dua kota tersebut menyepakati nota kesepahaman yang menjadikan mereka sister city (kota kembar).
Menurut Abidin, salah seorang perintis aksara Korea di Sorawolio, pada 2005 Wali Kota Bau-Bau (kala itu) Amirul Tamim bertemu Prof Chun Thai Yun dalam Simposium Penaskahan Budaya Internasional. Kepada Chun Thai, Amirul bercerita bahwa suku Cia-Cia di Bau-Bau terancam kehilangan bahasa ibu mereka. Mereka juga tidak memiliki aksara untuk menuliskan bahasa pergaulan masyarakat itu.

"Mendengar soal bahasa Cia-Cia tersebut, Prof Chun Thai Yun tertarik untuk mempelajarinya," papar guru bahasa Inggris di SMA Negeri 6 Bau-Bau tersebut, Selasa (22/10).

Ancaman kepunahan bahasa Cia-Cia itu kemudian diceritakan guru besar di Hankuk University for Foreign Studies tersebut kepada kawan-kawan akademisinya di Korsel. Antara lain, seorang ahli fonetik di Seoul National University Prof Lee Ho Young. Singkat cerita, setelah itu, Desember 2008, Prof Chun Thai Yun mulai melakukan penelitian soal kebahasaan tersebut di Kecamatan Sorawolio.

Suku Cia-Cia di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, menghadapi problem serius. Bahasa ibu mereka kini terancam punah karena jumlah penuturnya yang terus

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News