Bamsoet Ajak Wanita FKPPI Terapkan Nilai-nilai Pancasila di Semua Aspek Kehidupan
Demikian halnya dengan era revolusi industri 4.0, yang lahir dari proses pergeseran paradigma. Di mana kemajuan teknologi telah mengubah tatanan konvensional yang sebelumnya diasumsikan sebagai sebuah kemapanan, dan menghadirkan tatanan baru yang mengoreksi makna kemapanan tersebut.
Mantan ketua DPR ini menjelaskan, dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial kemasyarakatan, hingga pendidikan, semuanya dituntut berubah dan menyesuaikan diri dengan standar kemapanan yang baru. Tren dunia industri dipenuhi digitalisasi pada semua lini. Segala sesuatu yang manual, natural, dan mekanis akan digantikan dengan yang serba digital.
"Era ini menjadi koreksi atas capaian-capaian pada tahap-tahap revolusi industri sebelumnya," lanjut legislator Partai Golkar ini.
Hal itu dilihat dari revolusi industri tahap pertama yang ditandai penemuan mesin uap, revolusi industri 2.0 dengan penemuan tenaga listrik, dan dimulainya produksi mobil secara masal.
"Revolusi industri 3.0 yang ditandai penemuan komputer dan robot dan saat ini revolusi industri 4.0 yang ditandai berkembangnya sistem fisik siber, the internet of things, dan penggunaan big data," jelas Bamsoet.
Waketum KADIN Indonesia ini menerangkan, era disrupsi tidak hanya menghadirkan modernitas dan kemajuan, namun juga tantangan. Konsekuensi logis dari lahirnya era disrupsi adalah tuntutan adaptasi melalui literasi teknologi. Karenanya, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan.
"Kemajuan teknologi pada era disrupsi memang menawarkan berbagai peluang. Tetapi penerapannya juga menyimpan potensi dampak negatif yang merugikan. Misalnya, pemanfaatan teknologi informasi (internet) secara salah dan tidak bijaksana, dapat mendorong lahirnya sikap intoleran, penyebaran hoax, bahkan tindakan kriminal," tutur Waketum Pemuda Pancasila ini.
Bamsoet menyebutkan, berdasarkan riset yang dipublikasikan pada bulan Februari 2020, tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 64 persen. Artinya, dari total penduduk negara ini yang berjumlah sekitar 272,1 juta jiwa, sekitar 175,4 juta jiwa di antaranya menggunakan akses internet. Bisa dibayangkan, satu berita hoax yang tersebar melalui internet dapat dengan segera diakses oleh jutaan orang hanya dalam hitungan detik.