Bamsoet Ogah Campuri Permintaan Wiranto ke KPK
jpnn.com, JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo mengaku tidak ingin mencampuri permintaan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukkam) Wiranto kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menunda pengumuman status tersangka bagi calon kepala daerah.
“Kami tidak bisa masuk dalam domain komentar atau statement pemerintah. Ya, silakan saja (pemerintah berpendapat),” kata Bamsoet -panggilan akrab Bambang- di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (13/3).
Dari sisi DPR, Bamsoet berpandangan bahwa parlemen tidak dalam posisi melakukan penilaian terhadap statemen pemerintah tersebut. Namun, politikus Golkar itu memahami sudut pandang pemerintah bahwa permintaan ke KPK itu sebagau upaya menjaga stabilitas nasional dalam menghadapi pesta demokrasi Pilkada Serentak 2018.
Menurut Bamsoet, sah-sah saja jika pemerintah mengharapkan tindakan hukum terhadap calon kepala daerah yang disinyalir melakukan tindakan korupsi ditunda dahulu. “Itu sisi pemerintah,” tegas mantan ketua Komisi III DPR ini.
Sebelumnya pemerintah menggelar Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) Pilkada 2018, Senin (12/3). Salah satu yang dibahas adalah terkait rencana KPK menetapkan para calon kepala daerah sebagai tersangka rasuah. Usai rapat itu Wiranto mengharapkan KPK menunda proses hukum terhadap calon kepala daerah peserta Pilkada Serentak 2018.
"Kalau sudah ditetapkan sebagai pasangan calon menghadapi Pilkada Serentak, kami minta ditunda dulu penyelidikan, penyidikan, dan pengajuannya dia sebagai saksi atau tersangka," kata Wiranto di kantornya, kemarin (12/3).
Pernyataan Wiranto ini pun menuai kritik. Sejumlah elemen meminta agar KPK menolak permintaan Wiranto.
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, ada tiga alasan KPK untuk mengabaikan dan menolak permintaan Wiranto. Pertama, KPK adalah lembaga negara independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari intervensi kekuasaan mana pun sebagaimana pasal 3 UU tentang KPK.
“Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat meminta untuk mempercepat, menunda atau bahkan menghentikan proses hukum yang dilakukan KPK,” ujarnya, Selasa (13/3).
Kedua, pemerintah telah mencampuradukkan proses politik dengan hukum. Penyelengaraan Pilkada merupakan proses politik yang tidak boleh menegasikan dan menyampingkan proses hukum. “Sebab konstitusi menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum,” tegasnya.
Ketiga, proses hukum oleh KPK bagian dari cara untuk menghadirkan para calon pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas. “Sebab mekanisme ini yang tidak dilakukan oleh partai dalam menjaring kandidat yang akan mereka usung,” pungkasnya.(boy/jpnn)