Bangkitkan Bahasa dan Budaya Lokal Lewat Cerita dari Molo & Palu
Lebih lanjut, Neni mengatakan di kota Palu yang terjadi hari ini adalah sulit menemukan komunitas masyarakat yang mampu mempraktikkan budaya dan bahasa lokal. Mungkin sama dengan ibu kota di sejumah daerah.
Hal yang paling menyenangkan ungkap Neni, bertemu dengan kawan-kaan yang punya gairah yang sama untuk memajukan literasi. Semula balik kampung semasa kuliha missal Lebaran, merasa terasing, tetapi belakangan tidak lagi.
“Yang saya alami sama dengan yang dialami Soekarno meninggalkan Jatim untuk kuliah di Bandung, juga para pendiri bangsa lain. Setelah itu kembali ke kampung halaman lalu membuat sesuatu seperti gerakan. Saya merasakan ada gairah seperti itu.
Komunitas di Palu namanya “Nemu Buku” ini karena secara personal, saya menemukan buku yang kemudian saya baca. Ini spiritual sekali dan itulah kemudian muncul nama Nemu Buku.
“Jadi, buku itu memang penting seperti ilustrasi dengan kalimat ’Buku jendela dunia’ tetapi yang terpenting adalah bagaimana seseorang tercerahkan secara spiritual karena buku yang dibacanya,” kata Neni.
Kekayaan pengetahuan lokal Kaili, Palu lanjut Neni, dengan kekayaan alamnya, juga manusia yang hidup di dalamnya, memberi inspirasi bagi kita untuk berkarya. Apalagi penduduk Sulawesi Tengah yang relatif kosong, dibandingkan di Kota Makassar di Sulsel.
Di sisi lain, Dicky mengungkapkan, yang dihadapi sekarang bagaimana rumah tradisional Molo –seperti rumah bulat di Papua yang atapnya menjuntai KE tanah- yang dinilai tidak sehat oleh pemerintah dan WHO, tetapi sebenanya banyak yang hilang dengan nilai dan budaya orang Molo, misalnya kaitannya dengan batu, hutan, dan sungai. Semua itu diwariskan di rumah tradisional.
Upaya Lakoad Kujawas memang tengah berusaha untuk melakukan riset dan pengarsipan dan menerbitkan dalam bentuk buku atau jurnal.