Banyak Alasan Biaya Top Up e-Money Perlu Ditinjau Ulang
jpnn.com, JAKARTA - Rencana penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait transaksi nontunai perlu ditinjau ulang. Utamanya yang mengatur biaya isi ulang (top up) uang elektronik atau e-money.
Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan menyebutkan kebijakan tersebut tidak sevisi dungeon semangat cashless society yang gencar disosialisasikan oleh BI.
Selain itu, penggunaan uang elektronik tidak hanya untuk transaksi di tol yang hanya di kota-kota besar, tapi untuk semua jenis transaksi sehingga potensi dana masyarakat yang akan dikumpulkan oleh bank tanpa kejelasan akan lebih besar lagi.
"Bank-bank yang menerbitkan uang elektronik mendapatkan dana murah dan bahkan gratis, karena uang elektronik tak berbunga," ujar Heri di Jakarta, Selasa (19/9).
Dia memberi gambaran bahwa berdasarkan hitungan kasar dari jumlah kartu elektronik yang beredar sebanyak 64 juta kartu, dan setiap kartu diasumsikan terisi Rp 50 ribu, maka sudah terkumpul uang Rp 3,2 triliun. Uang yang mengendap di bank itu bisa diputar dan pemilik kartu elektronik tidak mendapat bunga.
"Jika uang elektronik hilang menjadi tanggung jawab pemilik, dan tidak seperti kartu debit yang hilang uangnya masih ada, dan uang elektronik tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)," jelas dia.
Lebih berat lagi, lanjut politikus Gerindra ini, PBI yang akan dikeluarkan ini sebenarnya lebih didorong oleh transaksi nontunai dalam pembayaran tol. Sementara dalam UU No.7 tahun 2011 tentang mata uang, mata uang yang berlaku di Indonesia adalah rupiah.
Dengan kata lain, penggunaan uang elektronik boleh-boleh saja diatur. Namun perlu ada alternatif pembayaran dengan uang kertas dan logam.