Banyuwangi Genjot Pengembangan Desa Wisata
jpnn.com - BANYUWANGI - Kabupaten Banyuwangi terus melakukan berbagai langkah untuk menggenjot sektor pariwisatanya. Di samping menggelar berbagai acara pariwisata (tourism event) berbasis atraksi budaya dan keindahan alam, kabupaten berjuluk "The Sunrise of Java" ini juga mengembangkan desa wisata.
"Desa wisata punya potensi besar, terutama untuk segmen wisatawan yang tertarik menyelami kekayaan seni-budaya masyarakat Osing," Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Osing adalah suku asli Banyuwangi
Secara garis besar, desa wisata bisa diartikan sebagai konsep wisata terintegrasi di sebuah wilayah yang memadukan antara potensi wisata lokal berupa produk seni-budaya dan keindahan alam, akomodasi, dan fasilitas pendukung lainnya.
Di Banyuwangi, sudah terdapat satu desa wisata, yaitu Desa Wisata Osing yang terletak di daerah Kemiren, sekitar 15 menit perjalanan dari pusat kota Banyuwangi dengan menggunakan kendaraan bermotor. Di Desa Wisata Kemiren, sedikitnya terdapat 32 acara budaya, di mana 18 di antarannya berupa kesenian. Di antara kekayaan seni-budayanya adalah tradisi Ndog-ndogan, Penampan, Ider Bumi, Tari Gandrung, Angklung Paglak, dan lain sebagainya.
Kekayaan seni-budaya itu berpadu dengan kekhasan lokal lain seperti rumah adat dengan arsitektur khas Osing yang mencerminkan keramahan dan sikap egaliter. Warisan budaya agraris juga kental di mana ada pola bertani tradisonal, seperti penggunaan baling-baling kayu (disebut kiling) untuk mengusir hama yang bisa mengganggu tanaman.
"Kami juga baru saja mengajak sejumlah kepala desa dan tokoh adat yang daerahnya punya potensi wisata untuk berguru ke Bali selama satu hari. Kami ke Desa Wisata Batu Bulan dan Penglipuran, Bali. Di sana termasuk belajar hal yang kelihatannya remeh tapi sangat substansial, seperti ramah dan tidak mematok harga barang yang tak rasional ke wisatawan," kata Anas.
Anas menekankan, pengembangan wisata Banyuwangi didasarkan pada konsep pelibatan sumberdaya lokal, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya institusional. "Masyarakat harus terlibat. Institusi lokal seperti kelompok pemuda, koperasi warga, atau kelompok perempuan didorong jadi ujung tombak pemasaran wisata," tuturnya.
Wisatawan yang datang ke destinasi desa wisata juga bisa menginap di rumah penduduk, mempelajari cara hidup mereka, dan makan makanan setempat. Sehingga, masyarakat lokal tidak hanya dijadikan objek turistik belaka, melainkan sebagai ''tuan'' bagi diri mereka sendiri, wirausahawan, penyedia jasa, sekaligus diberdayakan sebagai pekerja. "Di Desa Wisata Osing Banyuwangi ada rumah yang biasa dijadikan home stay. Sanggar-sanggar seni hidup. Cara penyajian kopi juga khas, bahkan wisatawan bisa ikut memproses dan menggoreng kopi," kata Anas.