Bawa Bom saja Berani, apalagi Hadapi Preman
Pada pertengahan 2011, Mustafa bebas. Saat itu dia bertekad tidak ingin membuat keluarganya mengalami hal serupa. Namun, pikiran untuk melakukan teror masih sering muncul.
’’Saya lalu merantau ke Kalimantan, mencari makan. Tapi, masih ingin beraksi, ya 50:50,’’ katanya.
Setelah beberapa tahun merantau di Kalimantan, Mustafa kembali ke Medan. Namun, masih ada rasa berbeda di lingkungannya.
’’Saya kan sering kedatangan tamu dari polrestabes. Kalau pakai seragam itu, malah bisa timbulkan fitnah. Dikira tetangga ada kasus lagi,’’ terangnya.
Mustafa sejenak menghentikan pembicaraan. Dia mengingatkan untuk tidak dipancing berkomentar soal Timur Tengah dan lainnya. ’’Saya tidak mau kalau soal itu. Soal ke depan saja,’’ ujarnya. Dia lantas melanjutkan kisahnya.
Saat berada di Kalimantan, berkali-kali orang dari Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) menghubungi dirinya. Dia diminta mengikuti sebuah acara. ’’Ratusan kali mungkin. Tapi, saya tak peduli,’’ ungkapnya.
Namun, ajakan itu semakin sering. Akhirnya, timbul rasa ingin tahu. Awalnya, Mustafa mengikuti sebuah kegiatan BNPT seperti pengajaran wirausaha. ’’Saya bertemu ikhwan-ikhwan lain. Banyak, ternyata,’’ ujarnya.
Yang paling mampu mengubah pemahamannya adalah saat bertemu korban-korban teror. Pernah suatu kali ada acara pertemuan antara mantan pelaku dan korban teror di Hotel Borobudur, Jakarta. ’’Saat itu saya bertemu seorang ibu. Salah satu korban aksi teror,’’ ujarnya.