Benarkah RUU Omnibus Law Diperlukan Untuk Mereformasi Birokrasi?
Lebih lanjut, Purwadi menjelaskan bahwa ke depan tidak semua usaha mesti berbasiskan Amdal. Usaha dengan skala menengah misalnya, cukup dengan UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) atau UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Selain itu, di sektor usaha pengelolaan hasil hutan, pengusaha kelak diupayakan untuk memegang satu izin saja untuk bisa memanfaatkan potensi yang ada di wilayah usahanya.
“Butuh langkah ekstrem untuk menjadikan Indonesia sebagai negara efektif dalam hal birokrasi,” tutur Purwadi.
“Pengaturan pada level PP dan Pepres diharapkan dapat lebih mengefektifkan rantai birokrasi,” katanya.
Sementara itu, Sukarmi menyimpulkan bahwa suatu landasan mesti dipenuhi ketika membuat sebuah peraturan perundang-undangan, dalam hal ini RUU Omnibus Law. Landasan itu adalah filosofis, sosiologis, politis, yuridis, dll.
Pertanyaannya, kata Sukarmi, apakah RUU Omnibus Law sudah memenuhi landasan tersebut. Dia khawatir RUU ini kelak menjadi UU ‘siluman’ yang kemudian dinilai tidak bisa diterima masyarakat.
Pasalnya, Indonesia, yang berbasis civil law system, dinilainya masih terlalu awam untuk menerapkan Omnibus Law yang dikenal di negara berbasis common law system.
“Queensland (negara bagian Australia) membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membuat UU Omnibus Law,” ungkapnya.(chi/jpnn)