Berawal dari Sumpah sang Ayah usai Dipermalukan di Pesta Natal
Pemahaman mendalam tentang kondisi kesehatan di Papua terbangun karena Alo benar-benar memulai karir dari bawah. Dimulai dengan menjadi staf puskesmas pada 2002 sampai kini dipercaya memimpin Dinas Kesehatan Papua.
Dari pengalaman itu, Alo tahu beragam persoalan klasik yang menghadang peningkatan kondisi kesehatan di provinsi di ujung timur Indonesia tersebut. Mulai tantangan geografis, kultur sosial, sampai kemampuan ekonomi.
Apalagi, Alo juga merasakan sendiri kepedihan karena kehilangan saudara-saudaranya. Dari delapan bersaudara dengan Alo sebagai bungsu, hanya tiga orang yang masih tersisa sekarang. Lainnya meninggal karena penyakit “khas” Papua: kolera dan malaria.
“Karena itu, keinginan saya hanya satu, anak-anak Papua pada masa mendatang tidak mengalami sakit, apalagi meninggal seperti saudara-saudara saya,” tutur Alo.
Bagi dia, gebrakan menuju Papua sehat, bangkit, mandiri, dan sejahtera memerlukan dorongan dari lintas sektor. “Papua itu kritis. Ibarat orang Papua itu mati tiga, non-Papua mati satu,” jelasnya.
Dengan rasio tersebut, dia memprediksi, pada 2030 tanah kelahirannya tersebut sangat minim warga asli. Perbandingannya 1:3. Kekhawatiran terhadap badai kepunahan itu pula yang mendasari lahirnya buku keduanya.
Buku kedua yang digarap selama setahun itu mencoba menawarkan perspektif baru dalam melihat kondisi kesehatan di Papua. Yakni secara sederhana, revolusioner, dan berkelanjutan. Menurut dia, dari atas kursi empuk kekuasaan, para elite perlu melihat bagaimana realitas yang terjadi di masyarakat.
Fokus utama dalam buku setebal 796 halaman itu terkait dengan program ibu dan anak, imunisasi, sanitasi lingkungan, serta penerapan STBM (sanitasi total berbasis masyarakat). Tujuannya, indeks pembangunan manusia di Papua bisa meningkat. Begitu juga angka harapan hidup di Papua. Dari saat ini 65,4 tahun menjadi 70 tahun pada 2018. Sedangkan untuk skala nasional, rata-rata angka harapan hidup sudah mencapai 72 tahun.