Berawal dari Sumpah sang Ayah usai Dipermalukan di Pesta Natal
jpnn.com - PESTA Natal yang semestinya indah malah berujung memalukan bagi anggota keluarga Giyaibo Raymondus Giyai. Mereka dilarang mengikuti pesta. Gara-garanya, tak membawa sarden dan mi seperti yang diwajibkan para tetua adat.
LUSIA ARUMINGTYAS, Biak
Karena malu, kecewa, dan marah, Raymondus pun bersumpah di hadapan puaknya di Kampung Onago, Kabupaten Benyai, Papua.
”Saya akan menyekolahkan anak-anak saya agar tak hanya bisa membeli kedua barang itu, tapi juga bisa langsung melihat pembuatannya,” kata Raymondus.
Dengan kata lain, sekolah setinggi-tingginya dan menduduki jabatan terhormat. Ternyata, 54 tahun berselang setelah Natal kelam pada 1961 tersebut, sumpah Raymondus itu terwujud.
Salah seorang anaknya, Aloysius Giyai, tak hanya telah menyandang gelar dokter gigi dan magister kesehatan dari perguruan tinggi terpandang, Universitas Airlangga, Surabaya. Tapi juga dipercaya sebagai kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua sejak 2014.
Alo - sapaan akrab Aloysius - memang baru lahir sebelas tahun setelah kejadian yang mempermalukan keluarganya itu. Tapi, insiden tersebut melekat di benaknya berkat cerita sang bapak yang lantas diabadikannya di buku yang ditulisnya, Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua: Bercermin pada Fakta RSUD Abepura.
Buku yang terbit pada 2012 tersebut sekaligus menjadikan ayah empat anak itu dokter asli Papua pertama yang melahirkan buku. Karya kedua pria kelahiran 8 September 1972 tersebut menyusul diluncurkan bulan lalu, bertajuk Melawan Badai Kepunahan.