Biaya Isi Ulang e-Money Untungkan Perbankan, ini Buktinya
jpnn.com, JAKARTA - Kritik terhadap biaya isi ulang uang elektronik atau top up e-money ternyata bukan tanpa alasan. Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan menilai kebijakan itu hanya menguntungkan perbankan ketimbang pengguna e-money.
Ini disampaikan Heri menyikapi rencana penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI), di mana seluruh ruas tol di Indonesia wajib menggunakan transaksi nontunai, mulai Oktober tahun ini. Setiap kali isi ulang, konsumen akan dikenakan biaya Rp 1.500.
Heri lantas menyodorkan hitung-hitungan. Contoh untuk kartu baru e-money yang dibeli dengan harga Rp 25.000. Lalu, biaya top up yang dibebankan ke masyarakat sebesar Rp 1.500.
Bila dari empat bank saja tercatat pengguna kartu e-money sebesar 27,6 juta kartu, Bank Mandiri 9,61 juta, BNI 1,5 juta, BRI 6,6 juta, BCA 10 juta.
Dengan rata-rata transaksi per bulan sebanyak 1 kali transaksi, maka uang top up yang diraup bank sebesar 27,6 juta dikali Rp 1.500, totalnya Rp 41,4 miliar per bulan. Dalam waktu satu tahun, totalnya Rp 496,8 miliar.
Kalau kita tambah dengan harga beli kartu Rp 25 ribu, maka total dana masyarakat yang disimpan di bank sebesar Rp 496,8 ditambah Rp 25 ribu kali 27,6 juta, totalnya Rp 1,2 triliun per tahun.
"Itu bukan uang yang sedikit. Nah, uang itu dibikin apa? Bagaimana pertanggungjawabannya di bank-bank, terutama BUMN? Kan tidak jelas. Padahal semangat e-money itu adalah transparansi sistem pembayaran," ucap Heri di Jakarta, Senin (18/9).
Hitungannya menjadi lain lagi untuk e-money kartu tol. Harga belinya Rp 50 ribu, tapi hanya berisi Rp 30 ribu, sehingga tersisa Rp 15 ribu setelah dipotong biaya administrasi dengan asumsi sebesar Rp 5.000 per kartu.