Boni: Yang Dibakar di Garut Satu dari Dua Jenis Bendera HTI
jpnn.com, JAKARTA - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens menilai para pentolan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih mencari cara mewujudkan apa yang mereka cita-citakan, meski organisasi tersebut sudah dilarang di Indonesia.
Dari pengamatan LPI sepanjang Oktober 2017-Oktober 2018, para pentolan HTI bergerak liar dengan payung organisasi yang berbeda-beda.
"Ada yang bergerak sebagai aktivis partai politik, ada yang bergabung dalam tim relawan kandidat presiden tertentu, ada yang fokus memperjuangkan khilafah tanpa bergabung ke partai politik tertentu," ujar Boni di Jakarta, Jumat (26/10).
Karena itu, Boni mengaku tidak heran jika kemudian muncul kontroversi pada peringatan Hari Santri Nasional di Limbangan, Garut, Jawa Barat, Senin (22/10) lalu.
Kontroversi mengemuka setelah salah seorang Banser membakar sebuah bendera yang disebut sebagai bendera HTI. Bendera itu sebelumnya diambil dari seseorang berinisial US, yang mengibarkannya saat peringatan Hari Santri Nasional. US disebut salah seorang alumni 212.
"Langkah US terkesan ingin menciptakan kontroversi. Karena perayaan Hari Santri Nasional itu aturannya sudah sangat jelas. Semua peserta wajib berseragam putih dan hanya bendera Merah Putih yang boleh dibawa, tidak boleh ada bendera lain," katanya.
Boni tidak bermaksud masuk ke ranah teologis tentang kalimat dalam bendera yang dibakar tersebut. "Namun yang jelas itu bendera HTI. Baca buku berjudul Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah (2006) yang diterjemahkan Yahya A.R. dan disunting Tim HTI-Press dan diterbitkan HTI Press pada 2008 dengan judul 'Struktur Negara
Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi)'," ucap Boni.