BPIP: Pancasila Harus Diajarkan dari PAUD sampai Perguruan Tinggi
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Benny Susetyo mengungkapkan, pihaknya sudah merumuskan garis haluan kebijakan Pancasila. Harapannya agar pendidikan Pancasila diarus utamakan dalam pendidikan sejak anak usia dini.
"BPIP akan menyediakan bahan untuk mengarus utama Pancasila tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Itu sebabnya dibutuhkan sinergi BPIP dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar Pancasila ini bisa masuk dalam mata pelajaran wajib," kata Benny di sela sela Konferensi Nasional Komunikasi Humanis (KNKH) 2019 yang dibesut Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Tarumanagara (Untar) di Jakarta, Selasa (19/11).
Dia menegaskan, Pancasila harus jadi mapel wajib karena saat ini ada masalah baru, di mana manusia menjadi mekanistis direduksi oleh teknologi. Ketika manusia menjadi alat teknologi, itu berbahaya karena akan terjadi dehumanisasi. Sehingga manusia dalam ekosistemnya kehilangan rasa kemanusiaannya. Manusia menjadi lebih egois, mau menang sendiri dan yang paling bahaya adalah bisa menghancurkan peradaban.
"Jadi, teknologi yang seharusnya menjadi alat pemersatu dan mempermudah manusia, malah menjadi alat untuk menghancurkan kemanusiaan. Nah tantangan ke depan adalah bagaimana membangun komunikasi yang humanis. Bagaimana membangun ruang-ruang dialog sehingga ekspresi dialog itu lebih kepada perjumpaan. Dengan membuka ruang perjumpaan anak-anak bangsa yang berbeda-beda keyakinan, strata sosial, budaya dan lainnya maka kemanusiaan akan makin ditingkatkan melalui solidaritas, kebersamaan dan gotong royong," bebernya.
Rektor Untar Prof Dr Ir Agustinus Purna Irawan pada kesempatan sama mendukung upaya BPIP mengembalikan Pancasila sebagai mapel wajib mulai jenjang PAUD hingga perguruan tinggi. Tentu saja cara penyajian lebih kekinian dan tidak teoritis. Siswa dan mahasiswa harus langsung menerapkan nilai-nilai Pancasila. Bukan sekadar menghafal sila 1 sampai 5.
"Salah satu contoh pengamalan Pancasila adalah komunikasi humanis. Para pejabat, tokoh nasional, publik figur yang sering tampil di TV harus mencontohkan bagaimana berkomunikasi humanis yang benar. Bukan malah menciptakan perpecahan," ujarnya.
Komunikasi humanis harus melihat siapa saja yang diajak berbicara. Jangan sampai para tokoh maupun publik figur membahasakan dengan bahasa rumit sehingga salah dicerna masyarakat awam. "Masyarakat awam akan berpikir kok para tokoh nasional kita kerjanya berantem melulu ya. Padahal aslinya belum tentu seperti itu. Nah, di sini nilai-nilai Pancasila dalam membangun komunikasi berperan penting," tegasnya.
Dekan Fikom Untar Riris Loisa yang juga tampil sebagai pembicara menambahkan, informasi sangat mudah beredar nyaris tanpa batas ruang dan waktu. Kecepatan arus informasi ini menyebabkan kehidupan masyarakat semakin dinamis dan semarak. Namun, era digital juga membawa berbagai persoalan baru di mana menciptakan ladang subur bagi tumbuhnya beragam informasi menyimpang seperti berita bohong atau hoaks.
Kondisi ini menurut Riris menjadi tantangan bagi masyarakat kontemporer. Sebab, ketika diterpa arus informasi yang demikian cepat dan masif, di saat bersamaan anggota masyarakat yang berpartisipasi di dalam lalu lintas komunikasi digital harus tetap memiliki kepekaan nurani. Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas manusia komunikasi menjadi kata kunci di era digital yang dihadapi masyarakat kontemporer.