BPK Sebaiknya Mengaudit Utang Pemerintah
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebaiknya jangan buru-buru memvonis pemerintah mengalami penurunan kemampuan membayar utang dan bunganya.
Hal itu disampaikan Heri menanggapi pernyataan Ketua BPK Agung Firman Sampurna saat Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6), yang menyebut indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR).
Agung saat itu juga menilai tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunganya telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
"Indikator yang dipakai BPK masih relatif lemah karena hanya merujuk pada rekomendasi IMF dan IDR,” ucap Hergun -panggilan Heri Gunawan di Jakarta, Rabu (23/6).
Hergun justru menyarankan agar BPK mengaudit utang-utang pemerintah tersebut, terutama menyelidiki terjadinya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dalam jumlah yang fantastis.
Dia mengatakan sepanjang 2020 pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 1.647,78 triliun atau 96,93 persen dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp 2.595,48 triliun atau 94,75 persen.
Dengan demikian, kata politikus Partai Gerindra itu, fiskal mengalami defisit sebesar Rp 947,70 triliun atau sekitar 6,14 persen dari PDB.
Di sisi realisasi, katanya, pembiayaan 2020 mencapai Rp 1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisitnya, sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 245,59 triliun. Artinya, utang 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.