Bu Risma... Sabar ya
Dia menambahkan, saat ini PDIP mengajukan tuntutan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar keberadaan calon tunggal itu bisa diakomodasi dalam pilkada. Calon tunggal tidak perlu dipertarungkan dengan bumbung kosong, tapi dengan sistem referendum. Masyarakat tetap menyelenggarakan pilwali, tapi dengan pilihan menerima calon itu atau tidak. "Kalau bumbung kosong, sisi hukumnya kurang kuat," ujar Awi.
Wakil Ketua DPC PDIP Surabaya Didik Prasetyono menambahkan, pihaknya berencana melaporkan KPU dan Panwaslu Surabaya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). "Mereka termasuk bagian yang menjegal pilkada dengan mencari-cari alasan," jelas dia.
Pria yang menjadi juru bicara tim pemenangan pasangan Risma-Whisnu itu mengatakan, KPU Surabaya telah salah fatal dalam memberikan pernyataan terkait dengan surat rekomendasi dari DPP Partai Amanat Nasional (PAN). KPU sudah menerima surat tersebut. Artinya, secara administratif sudah memenuhi syarat.
Jika kemudian rekomendasi asli hilang dan dibuat penggantinya, pasti ada perbedaan dengan surat yang pertama. "Secara substansial, ditambah dengan pernyataan ketua Umum PAN, seharusnya rekom tersebut tidak dipermasalahkan," ujar Didik.
Mantan komisioner KPU Jawa Timur itu menambahkan, seharusnya penerimaan berkas oleh KPU menandakan bahwa berkas tersebut valid atau yang disebut lolos verifikasi administrasi.
Contoh verifikasi administrasi adalah fotokopi ijazah yang dilampirkan harus dilegalisasi untuk menunjukkan keabsahan. "Sedangkan untuk verifikasi faktual, menanyakan kebenaran ijazah yang sudah dilegalisasi tersebut kepada dinas pendidikan atau sekolah yang tercantum dalam ijazah," bebernya.
Dia meminta Bawaslu RI dan KPU RI memberikan pedoman kepada jajaran di bawahnya agar mampu mencerna teknis dan aturan dengan benar. PDIP juga meminta KPU RI dan Bawaslu RI memberikan sanksi tegas bagi penyelenggara pemilu yang merusak proses demokrasi. (jun/c7/fat)