Bung Karno Ingin Terlihat Tampan
Selama penulisan biografi pada periode 1961–1967, seberapa intens pertemuan Anda dengan Presiden Soekarno?
Tiap hari, pukul 6 pagi, saya datang ke istana. Bapak duduk di sana tanpa peci, tanpa seragam. Hanya kaus, celana, dan telanjang kaki. Saya datang, lalu minum kopi tubruk. Kami lalu duduk. Kadang dia membiarkan saya mewawancarainya. Kadang dia hanya bercerita kepada saya tentang pekerjaannya.
Saya di istana sejak pukul 6 pagi sampai pukul 9 atau 10. Lalu, pada akhir pekan, saya melakukan cross check atas kisah-kisahnya. Misalnya, setelah dia bicara tentang pengalamannya di penjara Bandung, saya pergi ke sana, melihat kondisinya, bicara dengan sipir penjaganya. Jadi, saya lakukan double check.
Dalam edisi bahasa Indonesia, ada 2 paragraf yang ditambahkan penerjemah. Di situ dituliskan, Presiden Soekarno menyebut bahwa kehadiran Bung Hatta tidaklah penting dalam proses proklamasi. Paragraf itu memicu kontroversi. Bagaimana pendapat Anda?
Saya tidak menulisnya. Itu disisipkan. Waktu itu, saya memberikan izin kepada salah satu penerbit di Indonesia untuk menerbitkan. Penerjemahnya, tanpa melakukan cross check kepada saya, tanpa izin saya, menambahkan dua paragraf tersebut.
Saya tidak pernah mengira hal itu akan terjadi. Saya lihat, di situ (edisi terjemahan) tertulis Bapak bilang Hatta tidak penting. Saya tidak, tidak, tidak pernah menulis itu. Bapak pun tidak pernah mengatakan itu.
Presiden Soekarno adalah orang yang sangat romantis kepada perempuan. Apakah Anda pernah mendapat puisi romantis atau kata-kata romantis dari dia?
(Cindy tersenyum) Dia mencintai kehidupan, dia mencintai perempuan. Saya tidak pernah bertemu presiden lain yang melakukan hal yang sama. Dia dekat dengan Marilyn Monroe, dengan bintang-bintang film. Seperti halnya saya yang terlihat menarik, dia hanya menikmati cara-cara untuk mengagumi perempuan dan para perempuan pun mengaguminya.