Cegah Money Laundering, Notaris Diminta Kerjasama
jpnn.com - JAKARTA - Tindak pidana pencucian uang kini muncul dalam berbagai modus. Menurut Wakil Ketua PPATK Agus Santoso para pelaku tindak pidana ini lihai menyembunyikan uang mereka melalui pembelian barang lain dengan uang tunai, bukan lagi melalui transfer rekening yang mudah ditelusuri penegak hukum. Salah satunya dengan pembelian rumah maupun tanah.
Oleh karena itu, Agus berharap sejumlah profesi membantu PPATK untuk mencegah tindak pidana pencucian uang ini. Di antaranya notaris, pengacara dan akuntan publik.
"Kita ingin memperluas lagi pihak pelapor, karena kami ingin profesi-profesi yang memungkinkan jadi gate keepers itu untuk jadi pelapor. Seperti notaris, akuntan publik dan pengacara itu kita ingin bisa masuk jadi pihak pelapor kita," ujar Agus saat dihubungi JPNN, Rabu, (6/11).
Selama ini, kata Agus, notaris cenderung diam ketika melayani klien yang membeli rumah atau tanah dengan uang tunai dalam jumlah besar. Seharusnya, kata dia, notaris melaporkan pada PPATK jika ada pembayaran miliaran rupiah secara tunai. Ia mencontohkan pada kasus korupsi proyek simulator SIM, terdakwa Irjen Djoko Susilo melakukan pencucian uang dengan membeli rumah mewah Rp 2 miliar secara tunai. Namun, pihak notaris tidak mencurigai hal tersebut.
"Notaris itu kalau menerima orang beli rumah dengan pembayaran tunai, bagi kita itu aneh. Seharusnya notaris tidak mau terima itu, arahkan dari transfer, karena harusnya curiga," kata Agus.
Selain meminta notaris, pengacara dan akuntan publik untuk bekerjasama, PPATK juga sedang berupaya mengusulkan Rancangan Undang Undang (RUU) Pembatasan Transaksi Tunai sampai dengan Rp100 juta dan RUU Perampasan Aset. Itu, kata Agus, sudah didaftarkan di Prolegnas untuk bisa dibahas tahun 2014.
"Untuk perampasan aset, itu bisa dipertanyakan asetnya dan kalau dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal usulnya secara sah maka bisa dirampas. Ini namanya non confiction base, jadi perampasan aset tanpa pemidanaan," tandas Agus. (flo/jpnn)