Cukai Rokok untuk Batasi Peredaran
jpnn.com - JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi terhadap UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kemarin. Dalam sidang tersebut, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kalimantan Selatan (Kalsel) Gustafa Yandi mengatakan bahwa kebijakan pajak rokok dalam UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah memberi angin segar kepada pemda. Sebab, jika UU itu diberlakukan, pemerintah mendapatkan sekitar Rp 100 triliun dari pungutan pajak tersebut.
"Dengan rasio jumlah penduduk 1,5 persen dari total nasional, pajak rokok itu memberikan tambahan penghasilan Rp140"Rp 150 miliar. Jika UU ini dibatalkan, kami kehilangan harapan tambahan pendapatan sebesar itu," kata Gustafa saat memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan pemerintah pada sidang pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (12/9).
Uji materi tersebut dimohonkan sejumlah tokoh. Di antaranya, Hendardi, Mulyana W. Kusumah, Neta S. Pane, dan Aizuddin. UU No 28/2009 itu baru diberlakukan pada 1 Januari 2014.
Di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Akil Mochtar itu, Gustafa menyebutkan, berdasar riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan, Kalsel menduduki peringkat kedua di Indonesia setelah Provinsi Bangka Belitung dalam hal jumlah rata-rata penduduk yang merokok lebih dari 30 batang per hari.
Di Kalsel rata-rata penduduk yang merokok lebih 30 batang per hari mencapai 7,9 persen, sedangkan di Bangka Belitung mencapai 16,2 persen. "Hasil riset tersebut juga menyebut 18 ribu perokok anak di Kalsel berusia 5"9 tahun. Prevalensi perokok di Kalsel mencapai 30,5 persen, hampir sama dengan angka nasional sebesar 34,7 persen," tambahnya.
Gustafa menambahkan, Pemprov Kalsel memerlukan dukungan pendanaan yang besar di bidang kesehatan, khususnya untuk meminimalkan dampak konsumsi rokok, baik terhadap perokok aktif maupun pasif.
Pakar ekonomi publik Universitas Andalas, Padang, Dr Hefrizal Hendra mengatakan, manfaat sosial ekonomi dari lapangan pekerjaan yang disediakan industri rokok jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan dampak negatifnya kepada rakyat secara umum. Dampak negatif secara sosial dan ekonomi dari industri rokok itu justru"harus ditanggung perokok aktif dan pasif.
Hefrizal menambahkan, semakin banyak orang yang merokok, beban pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan semakin tinggi. "Karena itu, kebijakan pengenaan pajak untuk meningkatkan harga rokok agar peredarannya bisa dibatasi adalah sangat tepat. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku 1 Januari 2014 itu malah terlalu kecil, hanya sepuluh persen. Mestinya lebih, agar harga rokok semakin mahal," kata Hefrizal. (gen/agm)