Cyber Army
Oleh: Dhimam Abror Djuraidjpnn.com - Isu cyber army ramai lagi setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta berencana membentuk tim siber untuk mengkonter berita-berita negatif terhadap pemda DKI.
Rencana ini memicu pro dan kontra karena dianggap sebagai upaya melindungi Gubernur Anies Baswedan dari serangan para buzzer.
Cyber army atau pasukan siber menjadi bagian dari lanskap politik yang tidak terpisahkan dalam dinamika politik Indonesia. Perang politik siber mencapai pada perhelatan pilgub DKI 2017 yang mempertemukan Anies Baswedan versus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang kemudian dimenangkan oleh Anies.
Banyak kalangan menganggap kemenangan Anies banyak dibantu oleh kekuatan pasukan siber yang digalang oleh para sukarelawan. Perang siber di dunia maya ketika itu lebih heboh dibanding perang politik di dunia nyata. Polarisasi pro dan kontra antara pendukung Anies vs pendukung Ahok memunculkan terminologi kampret dan cebong, yang menjadi kosa kata politik paling populer di Indonesia sampai sekarang.
Isu penistaan agama menjadi perdebatan sentral dalam perang siber itu. Para pembela Anies menyebut dirinya sebagai ‘’Muslim Cyber Army’’ (MCA) yang sangat gencar dan militan dalam menyuarakan serangan terhadap Ahok. Para pembela Ahok--yang disebut sebagai kelompok pendengung atau buzzer--tidak kalah militan dalam menyerang Anies dan membela Ahok.
Polarisasi dua kelompok ini menganga lebar dan terus berlanjut sampai pilpres 2019, yang mempertemukan Prabowo-Sandi dengan Jokowi-Ma’ruf Amin. Kali ini kampret vs cebong bermetamorfosa menjadi pasukan baru dengan cara perang lama.
Perang siber siber lokal di arena pilgub DKI berkembang menjadi perang nasional dalam pilpres 2019.
Kali ini kelompok buzzer pendukung Jokowi berhasil membalas dendam dan bisa memenangkan jagonya. Skor berubah menjadi 1-1. Polarisasi bukannya reda, tetapi malah makin melebar. Upaya Prabowo melakukan rekonsiliasi dengan Jokowi bukannya menyatukan, tetapi malah memperlebar gap.