Dahlan Iskan Pun Bicara Soal Titik dan Koma
Background di Balik Berita dari Forum Pemred JP Group di Pekanbaru, Riau (6)jpnn.com - SEBENARNYA sudah cukup lama Mantan CEO Jawa Pos Dahlan Iskan yang saat ini menjabat Meneg BUMN itu tidak berdialog panjang dengan sekitar 100 Pemimpin Redaksi Grup Jawa Pos. Momentum pertemuan Forum Pemred di Pekanbaru, Riau, lalu menjadi sesi amat mahal. Sayang, itu pun masih harus terhimpit oleh waktu yang tak henti-hentinya mengejar.
Seolah detak pengukur waktu berlari lebih kencang dari ukuran normalnya. Jarum pendek dan panjang, kompak berputar lebih cepat dari standar dunia mengukur detik. Tak lebih dari 25 persen saja, pertanyaan-pertanyaan pemred yang sempat terucap dan terjawab di sesi diskusi bersama mantan Dirut PLN itu. Tentu, masih menyisakan banyak “tanda tanya” yang menari-nari di benak pemred-pemred dari grup media dengan jaringan terbesar, terluas dan paling eksis di 33 provinsi ini.
Dahlan pun tampil seperti biasa. Dia tidak banyak bertutur soal hiruk pikuk politik, soal pemerintahan, soal kabinet, soal presiden, wilayah pekerjaan yang digelutinya saat ini. Dia mengawali dialog itu dengan back to basic. Soal prinsip-prinsip jurnalistik, soal titik dan koma. Tema yang sejak 20 tahun silam secara konsisten selalu dia ingatkan kepada pengelola media.
:TERKAIT “Saya akan bicara soal peran koma dalam sebuah kalimat. Banyak redaktur yang malas menaruh koma dan titik di dalam sebuah kalimat. Akibatnya kalimatnya menjadi panjang-panjang. Padahal, dalam sebuah kalimat, dia taruh dua titik, menjadi tiga penggal kalimat, kan juga tidak apa-apa?” ucap Dahlan, mengawali pembicaraan. Tentu, ini mirip dengan pertemuan Forum Pemred di Bandung, tahun 2011 lalu.
Pemred-pemred itu diuji kompetensi lagi dalam membuat angle, duduk lesehan di karpet, berkelompok, dan bersimulasi memandang peristiwa. Mencari sudut pandang paling menarik dari sebuah peristiwa. Mirip mengetes kembali wartawan baru, nol pengalaman, dengan teknik-teknik jurnalistik terkini. “Iya, kerajinan menaruh titik dalam kalimat itu, tidak kalah pentingnya dari mengatasi kemiskinan di negeri ini,” tambahnya yang diikuti gelak tawa dan tepuk tangan para pemred itu.
Soal suasana kenegaraan dan perkembangan dunia politik yang riuh, Dahlan pun menyebut negeri ini sedang growing pains. Seperti anak-anak yang sakit-sakitan (bukan sakit beneran, red), seperti pada usia 2-12 tahun, karena faktor pertumbuhan. Misalnya mau tumbuh gigi, makin panjang, makin tinggi, dia menjadi demam atau sakit panas.
Mereka “sakit” bukan dalam arti sesungguhnya. Mereka “sakit” bukan karena datang penyakit. Tetapi “sakit” karena organ-organ tubuhnya sedang mengalami proses penyesuaian diri dengan pertumbuhan. “Dari Orde Lama ke Orde Baru juga mengalami suasana growing pains seperti ini,” tuturnya. “Anggap saja, kita sedang memasuki masa pubertas.
Satu masa dari remaja yang hendak menuju ke dewasa. Kita sendiri belum dewasa, tapi ini proses menuju ke sana. Ada orang bisa melewati masa puber dengan baik, lalu menjadi seorang dewasa yang baik pula. Ada yang lama sekali berada dalam masa pubertas, dan akhirnya menjadi orang tidak dewasa-dewasa. Ada lagi yang tidak pernah dewasa dan akhirnya menjadi celaka, karena gagal melewati pubertas itu,” deskripsi Dahlan dengan serius.