Dahulu KPK Sanjung Bu Rita, Kok Kini Pasang Jerat Tersangka?
jpnn.com, JAKARTA - Kolega dekat Rita Widyasari mencium adanya hal janggal pada langkah Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) menjerat bupati Kutai Kartanegara itu sebagai tersangka korupsi. Sebab, KPK yang sebelumnya memuji Rita sebagai kepala daerah yang menjadi role model antikorupsi, ternyata justru menjeratnya sebagai tersangka kasus rasuah.
Juru bicara pribadi Rita, Yoga Hartantoro menyatakan bahwa KPK pernah menyebut Kabupaten Kukar sebagai contoh sukses pencegahan korupsi. Bahkan, Adnan Pandu Praja semasa menjadi komisioner KPK periode 2011-2015, pada 2014 menganggap Rita selaku bupati Kukar layak dicontoh karena tak mengeluarkan izin pertambangan, dan justru mencabut perizinan yang bermasalah.
Namun, Yoga kini merasa heran karena KPK justru menetapkan Rita sebagai tersangka korupsi. ”Mengapa KPK yang mempromosikan dan KPK pula yang menjatuhkan? Ada apa?" kata, Senin (9/10).
Kecurigaan Yoga bertambah lantaran KPK seolah-olah mengumbar laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) Rita yang meningkat 10 kali lipat hanya dalam kurun waktu empat tahun. Akibatnya, persepsi yang muncul adalah meningkatnya jumlah kekayaan Rita akibat gratifikasi.
Padahal, sambung Yoga, kenaikan itu akibat meningkatnya valuasi atas harta-harta yang sudah lama dimiliki Rita. Selalu ada kenaikan dari tahun ke tahun.
“Valuasi baru lahan sawit lama dan pertambangan itu ini bahkan mencapai Rp 209,5 miliar. Artinya dari total harta yang dilaporkan oleh Bupati di tahun 2015, 88 persennya dipicu valuasi baru dari lahan sawit dan tambang lama," papar Yoga.
Menurutnya, sangat mengherankan bila argumen peningkatan harta dianggap sebagai indikasi terjadinya gratifikasi. Sebab, harta tidak bergerak seperti lahan sawit dan pertambangan adalah tipe harta yang bisa mengalami peningkatan nilai walaupun didiamkan.
Dia lantas mencontohkan nilai sebuah rumah yang mulanya dibeli seharga Rp 200 juta. Beberapa tahun kemudian, lingkungan sekitar rumah itu berkembang sehingga nilanya melonjak jadi Rp 2 miliar tanpa ada pemugaran apa pun.
Kalaupun di dalam pelaporan harta kekayaan ada kesalahan valuasi harta tidak bergerak, sambung Yoga, sebetulnya tetap dimungkinkan mekanisme pembetulan laporan terkait penilaian atau appraisal. Karena itu dia menegaskan, meningkatnya nilai aset akibat kenaikan valuasi tidak bisa serta-merta dianggap gratifikasi.