Dana Pendidikan Naik 200 Persen tetapi Indonesia Kok Masih Tertinggal
Lulusan S3 Monash University ini menjelaskan, paradigma berpikir pejabat dan birokrasinya tidak boleh terpaku pada laporan monitoring yang diterima melalui Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Pendidikan Nasional (SPN), yang tidak berkorelasi erat dengan pembelajaran siswa. Sebab, banyak data yang dilaporkan tidak akurat atau bukan berdasarkan pengamatan langsung di lapangan.
"Pendekatan pemenuhan administrasi itu harus diubah secara fundamental. Fokus Kemendikbud dan pemerintah daerah lebih pada aspek terukur dan teramati dari pembelajaran," ujarnya.
Dia menyebutkan, ada lima hal yang ditekankan kepada 500 kepsek CEO dalam menciptakan ekosistem belajar yang menyenangkan.
Pertama, ruang otonomi bagi siswa untuk mengembangkan dirinya, membuat target belajarnya sendiri serta mampu mengelola waktu dan membuat keputusan dalam menyiapkan masa depannya di sekolah.
Kedua, pembelajaran lebih relevan atau (otentik) yang bertujuan pada penguasaan strategi belajar aktif dan teknologi untuk mengasah kemampuan memecahkan masalah nyata.
Ketiga, adanya ruang bagi passion dan talenta untuk berkembang. "Guru yang selalu menanyakan kebutuhan siswa, mengamati dan mendampingi siswanya dalam mengembangkan bakat dan passionnya. Bukan lagi budaya standarisasi yang memaksa anak harus sama," terangnya.
Keempat, ada banyak pilihan dalam strategi belajar untuk membangun pembelajaran yang berpusat pada individu. Kelima, ekosistem belajar yang berhamba pada anak, di mana pembelajaran berdasarkan perkembangan usia, mental dan talenta mereka yang berbeda.
"Melalui ekosistem ini, diharapkan dapat memenuhi janji Presiden Jokowi pada periode kedua pemerintahannya, di mana ingin menitikberatkan pada pembangunan manusia Indonesia yang adaptif, kompetitif, inovatif dan produktif," pungkasnya. (esy/jpnn)