Danramil Sawahan Kapten Arh Riswarno Bercerita tentang Dolly-Jarak
Datangi Satu Per Satu Rumah untuk SosialisasiPerkenalan itu sekaligus mengetahui persepsi masyarakat dan keinginan mereka tentang masa depan lokalisasi. Bukan hanya yang pro terhadap penutupan. Tetapi, yang kontra juga diajak berdialog dengan kepala dingin. ”Ada yang curiga kalau saya memata-matai mereka. Padahal, tidak,” imbuhnya.
Yang kontra penutupan lokalisasi ternyata mengandalkan pemasukan keluarga dari bisnis tersebut. Ada yang menjadi penjaga wisma. Ada pula yang menjual mi ayam dengan konsumen PSK serta pelanggan Dolly.
Sementara itu, yang pro terhadap penutupan memang tidak terikat secara ekonomi dengan bisnis syahwat tersebut. Mereka ingin kawasan itu lebih bersih dalam pandangan masyarakat umum.
Dia mengungkapkan, hampir semua orang yang kontra pada penutupan itu yakin bahwa Dolly tidak bisa ditutup. Sebab, wacana penutupan Dolly memang bukan hal baru.
Beberapa kali pemangku kebijakan berjanji menutup kawasan tersebut. Surabaya juga punya Perda No 7 Tahun 1999 tentang Larangan Penggunaan Rumah untuk Prostitusi. Tapi, semua itu seolah tidak bertaji.
Karena itu, para penentang gigih melawan kebijakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tersebut. Mereka yakin, penutupan itu hanya menjadi wacana yang hangat-hangat tahi ayam.
Dalam skala kecil, Dolly pun terbelah. Orang-orang yang pro penutupan diintimidasi dan diusir. Riswarno masih ingat betul laporan dari sebuah keluarga ke koramil pada malam deklarasi penutupan. Keluarga itu merasa tidak aman tinggal di rumah. Banyak orang kampung yang mengusir dia karena pro penutupan.
”Anak dan istrinya juga dibawa kemari. Ya, kami tentu harus menjamin keselamatan dia,” ujar prajurit yang masuk militer lewat jalur calon bintara (caba) di Tangerang pada 1985 itu.