Daoed Joesoef, Sosok Pengabdi Dunia Pendidikan
Jumat, 12 September 2008 – 13:09 WIB
Anak keempat dari lima bersaudara itu lalu masuk sekolah Belanda, HIS dilanjutkan ke MULO. Saat revolusi fisik Daoed ikut angkat senjata, hingga dia meninggalkan Sumatera menuju Jogja. ”Emak (Ibu) saya mengajarkan untuk selalu mencatat kejadian penting setiap hari. Itu juga saya lakukan, tapi sayang ada beberapa yang hilang karena dipinjam teman,” kata Daoed.
Hijrah di Jogja, Daoed berkenalan dengan seniman-seniman di sana. Bahkan, di kawasan Malioboro Daoed dikenal sebagai pelukis yang anti penjajah. Dia bersahabat dengan Affandi, Tino Sidin, dan Nasyah Djamin. Daoed juga sempat memimpin Seniman Muda Indonesia di Jogja.
Saat pendudukan Belanda pada 1948, Daoed melawan dengan membuat poster-poster penolakan terhadap pemerintah pendudukan NICA (Nederland Indies Civil Administration). Dia sempat ditangkap tapi lolos. Daoed lalu hijrah ke Jakarta melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. ”Saya dan Ibu (Soelastri, istrinya) dulu satu SMA di Jogja. Lalu sama-sama kuliah di UI. Saya di ekonomi, Ibu di Fakultas Hukum,” katanya.
Awalnya, kata Daoed, Soelastri disarankan sang paman masuk Fakultas Kedokteran. ”Tapi, sama dengan saya, Ibu takut darah. Ngeri dah pokoknya,” katanya lalu terkekeh.
Saat kuliah, keduanya sama-sama berprestasi. Soelastri jadi asisten Prof Hazairin, guru besar hukum adat, sedangkan Daoed jadi asisten Prof Soemitro Djojohadikoesumo yang terkenal sebagai begawan ekonomi. Setahun sebelum lulus mereka menikah pada 9 Juli 1958.
”Tahun ini tepat 50 tahun pernikahan kami. Kebetulan tanggal 9 Juli-nya juga Rabu. Jadi persis. Hanya pasarannya saya lupa, pon, wage, atau kliwon,” kata pria berdarah Aceh itu lalu tersenyum.