Dari Peluncuran Buku Koruptor Go To Hell Karya Bibit Samad Riyanto
Kasus Antasari Jadi Momentum Serang KPKSabtu, 19 Desember 2009 – 00:47 WIB
Untuk menghilangkan persoalan itu, dia mengusulkan agar biaya kampanye bisa dipangkas. "Harus segera dipikirkan kampanye yang tak pakai uang. Kalau perlu, fasilitas kampanye disiapkan negara," katanya. Persoalan lain yang disorot adalah ketimpangan gaji, keteledoran pengawasan, dan korupsi penegakan hukum.
Bibit juga berusaha menggelitik pembacanya. Dalam bukunya itu dia berusaha melontarkan istilah-istilah baru, namun umum dalam kasus korupsi. Misalnya, soal sogokan untuk calon pegawai negeri sipil (CPNS). Zaman Orde Baru, kata dia, biaya sogok cukup Rp 50 juta. namun, zaman sekarang, biayanya bengkak menjadi Rp 100 juta. Kenaikan itu karena adanya biaya reformasi.
Dalam pemilihan kepala daerah, para kontestan mati-matian "berjuang" agar terpilih. Rupanya, itu isitilah bagi para kontestan yang membagi-bagikan beras, baju, dan uang (berjuang). Dalam pengelolaan birokrasi, dia juga melontarkan istilah PGPS, untuk menggambarkan penggajian pegawai yang seragam, meskipun kemampuan mereka beda. PGPS merupakan kependekan dari "pintar goblok pendapatan sama". Isitilah itu kerap digembar-gemborkan KPK untuk mendorong reformasi birokrasi, yang tak semata-mata remunerasi gaji pegawai. Pegawai yang bermental buruk digambarkan 805, yang diartikan berangkat jam 8 pulang jam 5, tapi selama di kantor tak berbuat apa-apa alias nol.