Darurat Reformasi Partai Politik
Oleh: Juliaman Saragihjpnn.com, JAKARTA - Perlawanan terhadap kepemimpinan otoriter Presiden Soeharto melahirkan perlawanan mahasiswa dan rakyat. Maka pada tahun 1998 kita kenal sebagai awal lahirnya era reformasi.
Era ini ditandai dengan penataan ulang berbagai lembaga negara serta sistem perpolitikan kita yang menganut demokrasi langsung. Buah reformasi lainnya adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan untuk membuat partai politik, penegakan HAM, reformasi TNI dan Polri dan birokrasi serta amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan empat kali.
Perubahan paling mendasar dalam era reformasi ini adalah bagaimana presiden dan wakil presiden memiliki batasan periodisasi. Presiden dan wakil presiden hanya boleh dua kali periode. Demikianpun pada tingkatan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Hal semacam ini tidak kita temukan pada era Soekarno dan Soeharto. Soeharto menjabat selama 32 tahun. Kalau tidak didesak mundur oleh mahasiswa dan masyarakat, bisa saja Soeharto berkuasa hingga menghembuskan napas terakhir.
Fakta hari ini, reformasi masih memiliki banyak catatan kritis. Semestinya partai politik menjadi agen untuk mencetak kader bangsa. Namun fungsi ini belum dijalankan. Partai politik menjalankan reformasi setengah hati.
Partai politik tidak dikelola dengan sehat. Hingga tersumbatnya sirkulasi elite pada tubuh parpol akibat hegemoni kelompok tertentu. Dampaknya, distribusi kader dalam legislatif dan eksekutif tidak dilakukan dengan transparan dan profesional. Keputusan diambil berdasarkan kedekatan hubungan keluarga maupun bisnis (klientilisme).
Bahkan dalam distribusi kekuasaan eksekutif diduga dilakukan secara transaksional dan rent seeker. Darurat reformasi partai politik.
Konsiderans di atas akibat dari pengelolaan partai yang berbasis boss (Boss Centered Party). Dampaknya tercipta ketaatan buta kader parpol terhadap ketua umum partai, bukan terhadap nilai yang lebih tinggi. Akhirnya partai seperti perusahaan yang mencari keuntungan (profit) atas nama rakyat.
Dari pemilu ke pemilu melakukan kampanye untuk memperjuangkan kepentingan substansi rakyat. Namun ketika kekuasaan diraih, kekuasaan dimanfaatkan hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.