Deddy Yevri Menduga Kebijakan Larangan Ekspor CPO ala Jokowi Mencekik Petani Kecil
Pria kelahiran Pematangsiantar itu melanjutkan pemilik pabrik kelapa sawit tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama. Sebab, kualitasnya akan menurun dan tempat penyimpanan terbatas, sehingga apabila dipaksakan akan menambah biaya.
"Akibatnya, mereka akan menolak buah sawit milik petani dan tentu saja petani akan menjerit," urai Deddy.
Deddy menilai, seharusnya pemerintah tahu bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar.
Khususnya mereka yang punya pabrik kelapa sawit sendiri, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya.
Mereka juga memiliki modal kuat, kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan-pilihan lain untuk menghindari kerugian.
Dan jika ekspor itu dilarang, industri dalam negeri juga tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Sebab, kebutuhan minyak goreng yang bermasalah itu hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton per tahun dibanding total produksi yang mencapai 47 juta ton per tahun untuk CPO. Dan sekitar 4,5 juta ton per tahun untuk Palm Kernell Oil (PKO).
Deddy memandang jauh lebih positif jika langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah mengembalikan kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO).
Dengan DMO, maka eksportir CPO wajib mengalokasikan 20 persen ekspornya ke dalam negeri dengan harga CPO yang ditetapkan Pemerintah. Selain itu, pemerintah bisa menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).