Demo Demi ''Rakyat''
Bahwa ibu-ibu pengunjung pasar sudah galau, itu pasti. Kegalauan itu pun akan menemukan titik equilibrium-nya sendiri, sehingga dalam waktu cepat pasar akan normal kembali. Apakah mereka takut BBM naik? Jawabannya, iya, pasti. Apa yang membuatnya takut? Bagi pedagang, perubahan harga itu memaksa mereka bargaining dengan pembeli lebih keras lagi. Dan itu pekerjaan harian mereka.
Kulakannya lebih mahal, maka pedagang harus menaikkan harga jual, dampaknya pembeli ngomel, tawar menawarnya lebih lama, bahkan lebih seru dari sidang DPR RI. Proses menaikkan harga inilah yang krusial. Kalau kemahalan, penjual lari ke pedagang lain yang lebih murah. Kalau kemurahan, mereka terancam tidak bisa kulakan lagi, alias bangkrut?
Berapa lama “kegalauan” di pasar, dari pengalaman BBM naik selama ini? Tidak lama, satu dua bulan sudah normal kembali, sudah menemukan standar harga baru lagi. Pertanyaannya, apakah rakyat seperti pedagang dan pembeli di pasar seperti ini yang sedang diperjuangkan demontran itu? Atau yang sedang dibela wakil rakyat? Mereka kok lebih pintar dan realistis membaca pasar?
Mirip dengan perusahaan, setiap ada kebijakan naik harga, hampir pasti terjadi kepanikan pasar. Daya serap pasar bisa turun 5-10 persen, tetapi satu-dua bulan berikutnya, demand kembali normal. Naik harga itu biasa diimbangi dengan operasi pasar, berpromosi, bagi-bagi hadiah, dan paket-paket murah. Serupa juga rencana pemerintah menaikkan BBM, dikompensasi dengan BLSM –Bantuan Langsung Sementara Masyarakat--, dan membangun infrastruktur baru.
Bedanya, antara direksi (baca: pemerintah, red) dengan komisaris (baca: legislatif, red), punya orientasi sendiri-sendiri dan tidak kompak. Intervensi komisaris ke direksi terlalu jauh dan membuat ruang gerak manajemen menjadi tidak lincah. Semoga pemegang saham (baca: rakyat, red) makin sadar siapa yang paling perduli pada pemilik saham? (*)
(*) Penulis adalah Pemred-Direktur Indopos, dan Wadir Jawa Pos.