Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Desak FCTC Ditandatangani, Kemenkes Dianggap Lawan Presiden

Kamis, 23 Juni 2016 – 07:15 WIB
Desak FCTC Ditandatangani, Kemenkes Dianggap Lawan Presiden - JPNN.COM
Desak FCTC Ditandatangani, Kemenkes Dianggap Lawan Presiden. Tampak petani tembakau. Foto JPNN.com

jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Ketua Dewan Pimpinan Nasional  Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji tidak habis pikir dengan salah seorang pejabat setingkat dirjen di Kementerian Kesehatan yang mendesak Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk segera ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. 

Alasannya, Jokowi sudah menegaskan bahwa tidak akan gegabah menandatangani FCTC karena  pertimbangan ada jutaan petani dan kontribusi ekonomi yang besar dari cukai belum lama ini. 

"Kami menyayangkan logika berpikir Dirjen di Kemenkes yang selalu mendesak pemerintah kita untu segera menandatangani FCTC bahkan katanya setelah lebaran akan segera di tanda tangan. Desakan itu dimuat media,” kata Agus saat dihubungi, Rabu (22/6)
 
Seharusnya, Kementerian Kesehatan sebagai pembantu Presiden mendukung langkah Presiden. Pernyataan itu itu tidak menghormati bahkan melawan kehendak Presiden.  
 
Ia mengibaratkan, FCTC adalah salah satu bentuk hama dari arah barat yang menyerang tanaman tembakau dimana  sampai  saat ini masih belum ketemu obatnya. Oleh karena itu, mestinya Kemenkes mendukung sikap presiden bahwa petani tembakau harus dilindungi. "FCTC merupakan lonceng kematian bagi tembakau ,petani tembakau dan ikutannya," tegasnya.
 
Aksesi FCTC, menurut APTI, tidak bisa dilakukan sembarangan karena akan memberi dampak buruk pada kelangsungan hidup para petani tembakau, para buruh yang hidup dan bergantung pada industri tembakau. "Ada jutaan orang bergantung pada tembakau," tandasnya.  
 
Menurut Agus pemerintah tidak usah mengaksesi FCTC karena PP 109 sudah sepenuhnya mengadopsi isi FCTC.  "Petani tembakau menolak keras FCTC. Jangan hanya melihat aspek kesehatan saja, namun memperhatikan kultur budaya petani. Kami para petani ingin berdaulat menanam tembakau," tegasnya. 

Kritikan juga datang dari Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK). Ketua KNKP, Zulvan mengatakan seharusnya Kemenkes tahu diri bahwa aksesi FCTC secara politis tidak didukung oleh Presiden Jokowi. 
 
Presiden, kata Zulvan, tahu betul bahwa perlindungan kesehatan masyarakat harus dilakukan secara komprehensif tanpa mematikan pihak petani tembakau dan seluruh stakeholder pertembakauan di Indonesia. 
 
"Kekuatan kretek sebagai salah satu kekuatan ekonomi nasional tentu akan mati dengan aksesi FCTC," ujar Ketua KNPK, Zulvan, saat dihubungi media, Rabu (23/6).
 
KNPK menilai, Kemenkes tidak berdaya menghadapi tekanan kampanye gerakan anti-tembakau. Ada kesan, saat ini kelompok antitembakau adalah pengendali Kemenkes. “Presiden harus menegur Menteri Kesehatan,” ujarnya.

Pengamat hukum Margarito Kamis mengingatkan, sikap Kementerian tidak boleh melampaui Presiden, terutama berkaitan dengan regulasi yang punya dampak luas seperti FCTC. 

Ia menduga, sikap Kementerian yang mendahului presiden soal FCTC karena didorong kepentingan asing yang selama ini mendanai kampanye anti tembakau di Tanah Air. Bahkan, saat ini, ada kesan, pemerintah terkena euforia merespon kampanya anti tembakau yang didorong asing sehingga seolah-olah urusan tembakau hanya dimensi kesehatan.  
 
Secara ketatanegaraan, Margarito menjelaskan, Kemenkes atau Kementerian lain tidak bisa mengambil tindakan hukum apapun dalam soal FCTC ini. Termasuk pada pembahasan ratifikasi selama belum mendapat instruksi Presiden. 

“Menteri, sebagai pembantu Presiden, tidak boleh bertindak melampaui kewenangan presiden,” tandas Margarito.  

Ia berpendapat jika masing-masing pejabat pemerintah berbeda pendapat soal FCTC, masyarakat bisa menilai pemerintah tidak solid alias tidak kompak.

JPNN.com JAKARTA - Ketua Dewan Pimpinan Nasional  Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji tidak habis pikir dengan salah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News