Desak Jokowi Tarik Surat Pengajuan Budi jadi Calon Tunggal Kapolri
jpnn.com - JAKARTA - Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai pengajuan nama Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri terkesan janggal dan terburu-buru.
Terlebih, kebijakan Jokowi itu diambil dengan tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam proses pertimbangan calon Kapolri. Meski tidak diwajibkan undang-undang, keterlibatan KPK dan PPATK adalah pintu masuk seleksi pejabat publik yang berintegritas.
”Presiden Joko Widodo telah mengesampingkan prinsip kehati-hatian dan pertimbangan integritas dalam pemilihan calon Kapolri ini,” cetus dia kemarin.
Presiden, imbuh Ronald, seharusnya ingat pada komitmen dalam visi-misinya. Visi-misi Joko Widodo-Jusuf Kalla jelas menuliskan komitmen untuk memilih jaksa agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan berkomitmen pada penegakan hukum. Proses pemilihan yang akuntabel dan berintegritas baik sangatlah penting.
”Masih ada banyak pertanyaan terhadap figur calon Kapolri yang diajukan presiden. Besarnya peningkatan harta kekayaan Komjen Budi Gunawan yang tertera dalam LHKPN (pada 2008 sebesar Rp 4,6 miliar, namun pada 2013 melejit menjadi Rp 22,6 miliar, Red) menimbulkan pertanyaan dan dugaan publik mengenai keterlibatannya dalam kasus rekening gendut,” ujarnya.
Ronald menjelaskan, bila Jokowi tidak menarik surat pengajuan Budi kepada DPR, harapan publik akan berada di tangan para anggota dewan. DPR seharusnya tidak begitu saja menerima usulan calon Kapolri yang diajukan presiden.
Sesuai pasal 11 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, dalam waktu 20 hari DPR dapat menyetujui atau tidak menyetujui usulan calon Kapolri dari presiden.
”Kami mendorong DPR melakukan uji kepatutan dan kelayakan secara optimal. Ini adalah waktu yang tepat bagi DPR untuk menunjukkan komitmennya terhadap masa depan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi,” tandasnya.