Desakralisasi Teknologi
Misalnya, konsorsium beberapa perguruan tinggi, ITS, ITB, UGM, UI, Politeknik Elektronika Surabaya, yang akan meluncurkan satelit Nano! Satelit yang dikembangkan melalui prinsip-prinsip nano teknologi. Universitas Airlangga Surabaya juga sudah lama mendapatkan apresiasi dari WHO dalam penelitian vaksin flu burung (H5N1). Vaksin menakutkan itu sudah siap untuk diproduksi secara massal.
Itu karya anak bangsa di bidang kedokteran? Yang menjadi kekhawatiran saya adalah, jika mobil Esemka yang sudah berada di puncak isu ini menghadapi antiklimaks. Misalnya, mencuatkan kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak berdasar. Sisi ketidaksiapan, yang kemudian berkembang menjadi sisi negatif? Jika ini terjadi, maka mimpi menjadi mobnas, cita-cita menjadi tuan rumah otomotif di negeri sendiri, hanya tinggal mimpi. Isu tidak produktif, itu memiliki “daya rusak” yang amat dahsyat. Karena produk otomotif itu sensitif dengan isu-isu bernada minor.
Misalnya, bagaimana dengan standar safety-nya? Uji laik dari Dephub? Sebaran spare part di seluruh Indonesia? Pusat service dan purna jual? Tingkat kenyamanan dan keamanan? Maintenance dan purna jual? Seorang pengusaha pekan lalu menelepon saya, “Jangan ikut-ikutan euforia Esemka! Toyota dan KIA saja, untuk membuat satu prototype mobnas, biayanya USD 3 juta? Perhitungannya per millimeter? Itu tidak mungkin dengan sistem manual. Inilah yang oleh Prof M Nuh sedang “dilawan”, yakni merusak kesakralan teknologi.
Istilahnya “desakralisasi teknologi.” Bahwa, teknologi itu tidak perlu terlalu ditatap sebagai sesuatu yang mahasakral. Pencipta dan pemilik teknologi memang punya cara untuk menjaga “marwah” kesakralan itu. Selama ini cukup sukses, mengemas teknologi dengan prosesi kesakralan. Mereka membuat harga pun, bukan harga teknologi saja. Tetapi, harga teknologi plus unsur-unsur untuk menjaga marwah itu. Cara “merusak”-nya? Ya dicari anak-anak biasa, yang semula dipandang tidak mampu menciptakan teknologi canggih.
Merekalah yang merancang, memodifikasi, dan merakit barang berteknologi itu. Anak-anak kecil dalam jumlah yang massif. Jika ini sukses, maka harga teknologi bisa jauh lebih murah. Harga teknologi bisa mengalami degradasi. Pasar bisa rusak. Dan produk dalam negeri mampu bersaing dengan teknologi impor. Contohnya, dulu komputer itu banyak prosesinya. Monitor harus diberi jilbab, atau kerudung. Keyboard harus diselimuti, agar debu dan kotoran tidak merusak komponen. AC harus disetel yang dingin. Coba sekarang? Sambil merokok pun jadi! Jauh dari kesan sakral. (*)