Detik-detik saat GKR Pembayun Gemetaran Duduk di Atas Watu Gilang
Persis di depan deretan para putri itu, terdapat sebuah kursi kayu yang diletakkan di atas batu yang ditutup karpet merah dan ditaburi bunga melati. Itulah tempat yang disebut HB X sebagai Watu Gilang, tempat penobatan putri mahkota.
”Raos,” ucap salah seorang abdi dalem dengan lantang. Ucapan tersebut merupakan pertanda bahwa Sultan HB X akan datang. Tak ada irama gamelan seperti biasa ketika HB X datang. Yang ada, hadir suasana khidmat para kerabat keraton dan undangan menyaksikan raja Keraton Jogjakarta itu berjalan menuju Bangsal Mangunturtangkil.
Setelah HB X duduk di Dampar Kencana, suasana hening sejenak. Semua yang datang tahu bahwa mereka harus berdoa. Tak lama, HB X memberikan tanda berupa anggukan kepada GKR Mangkubumi untuk segera menghadapnya.
Mangkubumi berjalan menuju hadapan ayahandanya. Sembah dihaturkan sambil berdiri. Ketika Mangkubumi sudah sampai di depan sultan, dawuh raja dibacakan. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Jawa. Isinya, mengganti nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, nama yang sama ketika Sultan HB X menjadi putra mahkota.
Seusai pembacaan dawuh raja, Mangkubumi diperintah untuk duduk di kursi di atas Watu Gilang. Upacara yang tak lebih dari sepuluh menit itu ditutup dengan doa. ”Saya semakin ndredeg ketika duduk di atas Watu Gilang. Sampai-sampai tidak melihat Ngarso Dalem berdiri untuk keluar,” ungkap Mangkubumi.
Nama baru itu membuat Pembayun merasa punya tanggung jawab yang lebih berat. Nama Mangkubumi pernah dikenakan HB I, HB VI, dan HB X. (*/c9/ari)