Dewan Periklanan Indonesia: Iklan Bebas BPA Tidak Boleh Asal Klaim
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia Janoe Arianto buka suara soal adanya iklan sebuah produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang mengeklaim kemasannya 100 persen bebas BPA, padahal kemasan produknya sama sekali tidak mengandung BPA.
Menurutnya, klaim-klaim seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan etika periklanan yang sehat.
“Jadi, klaim-klaim terhadap sesuatu zat apakah mengandung atau tidak mengandung zat tersebut, itu harus dijelaskan secara jelas kepada publik. Secara etika periklanan harusnya seperti itu," ujarnya.
"Klaim itu tidak boleh asal mengeklaim. Namun, publik harus punya literasi, publik harus tahu klaim itu apa dasarnya. Itu basic etika sebenarnya. Jadi, orang gak misunderstanding dengan klaim-klaim yang dibuat, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan,” imbuhnya.
Dia melanjutkan, apa pun headline, apa pun sub headline, komunikasi itu tidak bisa asal menyebut tanpa menjelaskan secara literasi kepada masyarakat dari yang diklaimnya itu.
“Jadi, itu etikanya ya,” tukasnya.
Dia menuturkan iklan-iklan yang sifatnya mengeklaim seperti ‘bebas BPA’ itu, bisa saja akan membingungkan masyarakat. Karena, masyarakat bisa menafsirkan kalau bebas zat A ini aman dan kalau ada zat A ini berarti tidak aman.
"Ini kan masyarakat jadi bingung, dan sebenarnya gak etis iklan-iklan yang in general seperti itu,” katanya.
Sama halnya dengan iklan-iklan yang mengeklaim produknya tidak mengandung lemak, tidak mengandung kolesterol, sebenarnya itu tidak bisa. Apalagi tidak ada penjelasan dari apa yang diklaim itu.
“Karena, publik kan harus punya akses untuk mengetahui informasi itu sejelas-jelasnya, nggak boleh kemudian hanya mengeklaim tanpa penjelasan. Itu tidak etik namanya,” ucap Janoe.
Jika klaim itu tidak disertai dengan claritynya, menurutnya, klaim-klaim seperti ‘bebas BPA’ pada kemasan produk AMDK tertentu, itu akan menjadi kontroversial. Jadi, katanya, secara etis clarity itu, transparansi itu dibutuhkan untuk sebuah komunikasi atau iklan yang terbuka.
“Jadi, jika diklaim bahan itu bebas BPA, harus dijelaskan sebenarnya bahan itu dibuat dari apa. Jadi, istilahnya untuk tidak membuat isinya menjadi greenwashing,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan iklan itu hanya berupa kampanye untuk sebuah produk atau lembaga. Yang dimuat itu adalah keunggulan-keunggulan produk atau lembaganya dengan tidak berupaya untuk menjatuhkan produk atau lembaga pihak lain.
“Iklan itu kan hanya kampanye tentang produk, bukan menjelek-jelekkan produk orang lain. Jadi, bentuknya juga tidak perlu cover both side seperti berita,” tukasnya.
Hal senada disampaikan mantan Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Chairudin Bangun. Dia juga mengatakan tidak boleh iklan itu memuat unsur persaingan usaha tidak sehat yang mendiskreditkan produk pihak lain. “Tidak boleh. Iklan harus tunduk pada aturan yang ditetapkan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia atau P3I,” katanya.