Di Bungamayang Lengan Itu Tergores
Bambang dkk juga disiplin dan terjun sendiri ke kebun. "Lihat ini, Pak, tergores-gores," katanya sambil menunjukkan lengannya yang penuh tanda kena goresan daun tebu.
"Goresan di lengan" itulah sebenarnya intinya: berkebun dengan sungguh-sungguh. Tidak hanya menonton dari jauh bagaimana tebu tumbuh sendiri. "Kebun kami sudah bisa menghasilkan 100 ton per hektare," ungkap Bambang, petani yang juga sarjana pertanian itu.
Target bisa 100 ton per ha inilah yang akan jadi sasaran semua kebun tebu. Milik BUMN maupun petani yang kredit tanamannya dijamin PG milik BUMN. Caranya tidak bisa lain kecuali bibitnya harus unggul, irigasinya harus baik, pemupukannya harus tepat dan cukup, serta pemeliharaannya harus baik.
Dengan kesungguhan yang tinggi, pabrik akan menerima bahan baku tebu yang ideal. "Di Bungamayang kami sudah mencapai rendemen 9,1," ujar Karnoto.
Dengan sukses di Bungamayang ini, mau tidak mau PG BUMN yang juga memiliki kebun sendiri harus bisa mencapai prestasi itu. Misalnya PG Cinta Manis di Sumatera Selatan, Jatiroto di Jawa Timur, dan Jati Tujuh di Subang (Jawa Barat). Tidak ada alasan lagi. Bungamayang bisa, berarti yang lain juga harus bisa.
Tanda ke arah sana sudah kelihatan. Bahkan, seperti PG milik RNI di Subang, karena tidak mungkin membangun embung dalam jumlah yang banyak (kebunnya hanya 4.000 ha dan tanahnya rata), RNI mencoba menggunakan drip irrigation. Seperti di Israel atau Jordania. "Tahun ini sudah 1.200 hektare yang menggunakan sistem irigasi air menetes," kata Ismed Hasan Putro, Dirut RNI.
Hari itu, di bawah hujan renyai-renyai, saya lega meninggalkan Lampung Utara. (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN