Diaspora Aktivis dan Tantangan Partai Islam
Melihat penampilan politisi yang mempertotonkan konflik, sementara selalu membawa nama agama, maka tak salah Nurcholish Madjid pernah melakukan otokritik dengan mengatakan ”Islam Yes, Partai Islam No.” Kritik Cak Nur mengacu pada tabiat pemuka partai Islam yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Mantan ketua umum PB HMI dua periode itu dikenal sebagai cendekiawan muslim bahkan simbol moral.
Kita merindukan politisi Islam dari lapisan Partai Masyumi sekaliber M. Natsir. Kita juga mengharapkan lahir kembali tokoh sekelas Buya Hamka, Burhanuddin Harahap, Prawoto mangkusasmito, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya. Mereka dikenal bersahaja, intelektual yang konsisten. Praktik politiknya dilandasi oleh nilai-nilai luhur dan pemikiran yang bernas.
Keteladanan memimpin dapat kita serap dari Agus Salim yang tegar, sederhana dan tahan banting. Secara materi juga terbatas, jauh dari kemewahan. Leiden is lijden, memimpin itu menderita. Begitu pepatah kuno Belanda yang dikutip Mohammad Roem dalam karangannya berjudul Haji Agus Salim, Memimpin Adalah Menderita (Prisma No 8, Agustus 1977). Bung Karno juga pernah mengatakan: “Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin”. Maka, politik praktis itu bukan melulu bicara tentang pembagian kue kekuasaan, tetapi bagaimana keberpihakan yang jelas terhadap kaum lemah dan marginal (mustad'afin).
Meskipun parpol Islam tidak begitu cemerlang dalam lanskap politik nasional, tetapi kemunculan parpol baru berhaluan Islam seperti Masyumi “reborn”, Partai Ummat tetap mengemuka. Elite parpol Islam itu seolah terjebak pada teori klasik Clifford Geertz (santri, priyayi, dan abangan) dalam bingkai aspirasi politik kala itu. Teori Geertz mengacu pada preferensi politik bercorak politik aliran sebagaimana hasil Pemilu 1955, dengan akumulasi perolehan suara parpol Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti) sekitar 45 persen.
Lain dulu beda dengan sekarang. Maka partai Islam zaman dulu dengan partai Islam zaman sekarang sangat jauh berbeda, termasuk perilaku pemilih saat ini yang semakin rasional.
Selain itu, problem yang dihadapi parpol Islam yakni krisis figur yang bisa menjadi perekat umat. Di sisi lain, konflik internal dan faksionalisme senantiasa marak di parpol di Tanah Air, lebih-lebih partai Islam, misalnya, PPP belakangan ini.
Oleh karenanya, parpol Islam dan parpol berbasis Islam mesti taubat nasuha, mengembalikan jati diri partai berhaluan Islam yang sesungguhnya. Begitu pula program dan mazhab pemikiran, serta visi-misi agar berorientasi konkret menyangkut hajat hidup umat dan rakyat.
Misalnya perbincangan soal bagaimana mengurangi kemiskinan, mengatasi pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang layak, lingkungan hidup, mengatasi krisis pangan dan energi, dan sebagainya. Pada saat yang sama, kaderisasi diperkuat, termasuk merekrut SDM politik yang penuh dedikasi untuk umat dan bangsa. (*)