Diskusi, Puisi, hingga Bernyanyi, Bedah Buku Jadi Temu Kangen
jpnn.com - KALAU biasanya menjadi orang di balik layar, Ishadi Soetopo Kartosapoetro atau yang biasa dikenal sebagai Ishadi S.K. kali ini menjadi bintang dalam film pendeknya sendiri. Bak seorang pertapa, pria kelahiran Majene, 71 tahun silam, itu menikmati perkembangan dunia jurnalistik dalam keheningan dan kesejukan alam Sukabumi.
Laporan Rima Gusriana Harahap, Surabaya
=====================================
Semua tergambar lewat video singkat yang diputar sebagai pembuka acara bedah buku Media dan Kekuasaan: Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto di Semanggi Room, Graha Pena Jawa Pos,kemarin (27/8).
”Baru kali ini saya bedah buku, yang datang dikasih gratis. Biasanya beli,” canda Ishadi disambut gelak tawa hadirin. Bersama Jawa Pos,komisaris Trans Media itu melangsungkan bedah buku untuk kali ke-9 dalam lima bulan terakhir. Sebelumnya dia ke Jakarta, Semarang, dan Palembang sambil menyambangi beberapa universitas dan forum diskusi.
Bedah bukunya kali ini, dituturkan Ishadi, ibarat pulang ke rumah sendiri. Atmosfer kewartawanan begitu kentara. Didampingi Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, redaktur buku Jawa Pos Tatang Mahardika, berikut kolumnis Ruang Putih Jawa Pos A.S. Laksana, Ishadi memaparkan berbagai cerita di balik suka duka dunia newsroom,terutama di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto.
Buku yang merupakan adaptasi populer dari disertasinya 12 tahun silam itu serupa kliping sejarah yang mengejewantahkan kembali peristiwa-peristiwa heroik di balik meja redaksi dan bagaimana media –khususnya televisi– bisa begitu berperan dalam mencetak jejak baru perjalanan suatu bangsa. ”Siapa menguasai media, menguasai dunia,” tutur Ishadi mengutip pernyataan John Naisbitt, public speaker asal AS.
Peran media, ungkap dia, menjadi amat penting dalam mengawal proses perkembangan suatu bangsa. Indonesia tengah berada dalam era transisi, yakni saat sumber daya manusia dan kekayaan alam melesat maju dan saling melengkapi. Optimisme itulah yang senantiasa harus dijaga. Caranya, dengan tindak tanduk media dalam menyajikan tayangan-tayangan yang mencerdaskan.
Dua sisi media yang kini dinikmati diharapkan senantiasa berimbang. Dua hal itu, yakni kebebasan dan tanggung jawab, sempat berjalan timpang di era Orde Baru. Saat itu belenggu kekuasaan dirasakan betul dalam kontrol segmen pemberitaan.