Diskusi, Puisi, hingga Bernyanyi, Bedah Buku Jadi Temu Kangen
Era pascareformasi seperti sekarang, sebagai wujud transformasi media dari yang semula agen pemerintah (agent of government), media tumbuh menjadi sebuah industri dan menyatakan diri sebagai mitra pemerintah.
”Pers itu subur hidupnya kalau ada kebebasan, tapi akan survive kalau ada tanggung jawab,” ujar pria kelahiran 30 April 1943 tersebut. Pers, ujar dia, bahkan bisa jadi partai sendiri dalam urusan isu-isu politik. Perkembangan itulah yang kini patut diapresiasi sebagai bagian dari perkembangan demokrasi.
Perjalanan hidup yang bagi Ishadi mengalir bagaikan air itu telah mengantarkannya memilih jalan pengabdian sebagai insan media yang kukuh memberikan manfaat.
Hal tersebut tergambar lewat berbagai hasil karyanya untuk mass media sejak terjun pertama sebagai reporter TVRI pada 1968. Ishadi menggawangi perjalanan kejurnalisan di berbagai stasiun televisi pemerintah dan swasta.
Sekitar 60 menit Ishadi memutar kembali ingatan orang-orang terhadap pergolakan bangsa di era reformasi 1998. Sebagai pelaku sejarah lewat perannya di Departemen Penerangan RI, Ishadi paham betul geliat pers serta tantangannya kala itu. Mengumpulkan referensi dari sumber-sumber langsung, Ishadi meramu kembali potongan-potongan berita menjadi suatu kisah yang utuh. Menghadirkan kembali dalam bentuk disertasi dan rangkuman sejarah yang menyeluruh.
Jejak perkembangan media juga sempat dicicipi sastrawan Jawa asal Surabaya Suparto Brata. Duduk di deretan bangku terdepan peserta diskusi, Suparto mem-flash back masa lalunya saat kali pertama berkenalan dengan Ishadi. ”Tahun ’69 atau ’70 kami harus berangkat satu hari dari Surabaya ke Jakarta untuk mengirimkan kaset video pembangunan di daerah. Dulu saya mengantarkan langsung ke Pak Ishadi di TVRI,” ujar pria 82 tahun itu.
Zaman sekarang, tutur Suparto, dunia pers berkembang begitu cepat. Apa yang terjadi sekarang sudah bisa langsung diberitakan di televisi. ”Tapi, saya lebih suka baca koran,” tutur dia.
Isi buku Ishadi yang sarat muatan juga diakui kritikus sastra A.S. Laksana, mantan mahasiswa Ishadi. Penuturan yang lengkap dan mengalir, ujar dia, diibaratkan bagai cerita dari seorang guru kepada muridnya.