Djoko Priyanto, Pelestari Bela Diri Pedang Asli Jepang di Indonesia
Tiap Pagi Ayunkan Pedang 100 Kali, Tak Kenal Istilah Menguasaijpnn.com - KUNCI ilmu pedang adalah kesabaran. Hal itulah yang ditekankan sejak awal oleh Djoko Priyanto kepada murid-muridnya. Latihan kesabaran tersebut tampak jelas di sebuah dojo milik Dandenma Mabes TNI Kolonel Laut (S) Ivan Yulivan Sabtu (9/8). Dia melatih tujuh muridnya, termasuk Ivan, dalam gerakan lambat.
Gerakan-gerakan yang diajarkan tidak disengaja dalam tempo lambat, melainkan karena gerakannya memang harus lambat demi menjaga keseimbangan tubuh. Misalnya gerakan bangkit dari duduk hingga saat mencabut pedang. Bangkit dari posisi duduk bersimpuh ternyata bukan perkara mudah.
Saat bangkit dari duduk, posisi tubuh bagian atas harus tetap tegak lurus, bukan condong ke depan. Tolok ukurnya adalah rasa nyeri di bagian paha. Jika paha tidak terasa nyeri, cara bangkitnya keliru. ”Saya punya murid, waktu di awal-awal latihan bangkit itu, baru tiga kali mencoba sudah ngos-ngosan,” tutur Djoko seraya tertawa.
Djoko juga menekankan cara menggenggam gagang pedang yang benar. Seluruh jari tangan harus mencengkeram gagang pedang dengan erat. Terkadang saat menggenggam, entah sengaja atau tidak, telunjuk keluar dari genggaman. Hal itu sangat fatal. Sebab, jika digunakan untuk bertarung, telunjuk tersebut bisa remuk.
Suasana Jepang tampak betul dalam latihan Sabtu itu. Seluruh peserta latihan memakai uwagi dan hakama berwarna hitam. Keduanya merupakan pakaian yang biasa digunakan untuk latihan bela diri tersebut.Dojo tempat latihan berlantai kayu dan terasa lapang. Di depan pintu dojoyang berkonsep geser, alas kaki para peserta latihan berjajar rapi. Seluruhnya menghadap ke luar dojo.
Seluruh peserta menggunakan pedang tajam. Tidak ada yang menggunakan pedang kayu, meski pedang tersebut disediakan di sudutdojo. Pedang itu merupakan jenis lokal, namun sangat tajam. Djoko mengatakan, jika menggunakan teknik yang benar, pedang tersebut bisa memutuskan leher kerbau dalam sekali tebas.
Pria kelahiran 11 Oktober 1963 itu sengaja tidak melatih dengan pedang asli Jepang karena harganya terlampau mahal. ”Paling murah itu harganya Rp 65 juta. Karena pedang Jepang itu paling tajam di dunia. Kalau yang lokal, masih ada yang harganya Rp 2,5 juta,” urainya. Menurut dia, pedang Jepang pernah dites dengan cara ditembak senapan mesin. Hasilnya, peluru senapan tersebut terbelah.
Pedang tajam itu digunakan untuk keseriusan latihan sekaligus membuat para murid lebih berhati-hati. Saat mengeluarkan atau menyarungkan pedang, tangan bisa saja teriris. Selama latihan, beberapa kali Djoko yang juga biasa dipanggil sensei Tora Gotoku itu memperagakan gerakan yang salah dan benar agar para muridnya bisa membedakan.