Djoko Priyanto, Pelestari Bela Diri Pedang Asli Jepang di Indonesia
Tiap Pagi Ayunkan Pedang 100 Kali, Tak Kenal Istilah MenguasaiKarena dia terus bersikeras meminta berguru, akhirnya Higuchi bersedia menerima. Syaratnya, badan Djoko harus dikuruskan, tidak boleh atletis. Demi diterima belajar, Djoko langsung melakukan diet dan dalam satu bulan berhasil menurunkan berat badan sampai 20 kilogram. Dia juga tidak menyentuh alat fitness-nya.
Belakangan, Djoko baru mengetahui manfaat tubuh yang kurus dalamiaido. Karate memang memerlukan otot luar yang dampaknya bisa saja merobohkan lawan dalam satu kali pukulan. Namun, iaidolebih menggunakan otot-otot halus di dalam tubuh yang umumnya tidak difungsikan untuk kegiatan sehari-hari.
Menurut Djoko, itulah yang membedakan bela diri klasik dan modern. Tidak heran, para sensei di Jepang masih bisa mengayunkan pedang dan merentang panah dengan lincah serta gagah meski sudah berusia di atas 90 tahun.
Proses latihannya juga terbilang berat dan saat ini tidak mungkin dia ajarkan kepada murid-muridnya. Pada musim dingin, dia harus berlatih di halaman, bertelanjang dada tanpa alas kaki. ”Menginjak batu di halaman itu rasanya perih,” kenangnya. Hal yang sama dilakukan saat musim panas. Latihan juga dilakukan setiap hari, ditambah dengan meditasi.
Saat ujian, sangat sedikit peserta yang bisa langsung lulus. Dalam ujian kenaikan tingkat, dari seratus orang yang ikut ujian, biasanya yang berhasil bisa dihitung dengan jari. Kadang malah sama sekali tidak ada yang lulus. Djoko mengisahkan, ada seorang rekannya di Jepang yang menjalani ujian kenaikan tingkat dan 3 menuju dan 4 selama 17 tahun.
Kesalahan-kesalahan minor sangat bisa memengaruhi penilaian dewan guru. Misalnya duduk terlalu cepat atau goyah saat mencabut pedang. Tidak akan ada toleransi. Djoko menuturkan, ujian kenaikan tingkat sampai dan 5 dilakukan di tingkat provinsi. Selanjutnya, untuk dan 6 hingga 8, ujiannya tingkat nasional.
Djoko menambahkan, dia tidak akan berhenti belajar dan mengembangkan seni bela diri Jepang. Kecuali jika usianya sudah renta dan dia benar-benar tidak mampu lagi untuk bergerak luwes. ”Bela diri ini tidak ada terminalnya. Jadi, tidak ada tempat untuk berhenti,” tutupnya. (bayuputra)