Dokter Ilmuwan
Oleh Dahlan IskanDi acara reuni itu optimisme saya muncul. Terutama ketika melihat pertunjukan di panggung. Yang dilakukan oleh mereka yang sudah lebih dulu menjalani transplan hati.
”Benarkah yang main wushu itu pernah menjalani transplan hati?” tanya saya kepada petugas rumah sakit yang duduk dekat saya. Saya seperti tidak percaya mantan pasien transplan bisa main wushu seseru itu.
”Ia menjalani transplan lima tahun lalu,” ujar petugas rumah sakit tersebut.
Saya pun menjadi lebih optimistis lagi. Memang tidak akan bisa sampai main wushu sekelas itu, tetapi minimal bisa beraktivitas normal.
Orang yang duduk di sebelah saya juga kelihatan normal. ”Saya sudah sembilan tahun,” ujar orang Korea yang duduk di dekat saya itu.
Dorongan optimisme di acara reuni itulah yang membuat saya juga merasa menjadi orang ”normal”. Tidak disangka setahun setelah reuni itu saya sendiri justru menjadi sesuatu di Jakarta.
Bulan lalu adalah tahun ke-14 saya menjalani hidup baru. Memang saya belum bisa sampai main wushu, itu karena saya memang tidak bisa.
Tentu banyak juga dokter yang harus dimarahi seperti itu. Di sini dan di mana pun. Yakni, mereka yang berhenti menjadi ilmuwan. Berhenti berpikir. Berhenti melakukan penelitian.